Hening segalas kopi pahit
hening dalam penat
membuat rasa tak menghambat.
Di bangku ini aku selalu berkata umpat
pada lembaran kenangan pekat
Aku meraba kembali katakata sahabat
yang sering kita ceritakan pada kisah hidup
tertawa
menangis.
putus asa
gelisah
kebodohan
kita bingkai bersama lantunan jalanan
Kini aku hanya meraba kenangan itu
menikmati setiap inci kerinduan itu.
Kemana tak kembali padaku saat ini ?
Kenapa hanya tawamu membayang tak berarti ?
Dua ribu tiga bulan sebelas tanggal sebelas
dirimu diam tak acuh pada tetesan air mata
saat itu pilu sembilu mentertawakan kita berdua
perpisahan jua memeluk kita penuh buas
Hening segelas kopi pahit
hening dalam penat
bersama akhir tahun aku mengingat
suara petikan gitarmu sahabat
Pekanbaru;
29Pasar12Lima2011Puluh
(Untuk mengenang 8 tahun almarhum Sahabatku)
jemarijemrimu begitu lentik memainkan dawai malam
mengalunkan nyanyian para perindu romansa
suarasuaramu begitu menusuk pada lembaran kesunyian kelam
menusuk hingga tetesan air mata mengalir penuh rupa
Aku ingin melebur bersamamu pejalan malam
mengiringi setiap langkahmu mencari arti hidup
dibawah betonbeton yang berdiri angkuh
Matamata itu memandang lirih
memandang jauh penuh gundah
tak sedikit pun tenang tak punah
Seutas senyuman mulai memudar licik
menghambakan religi kemunafikan
dalam tenang aku kelam
dalam kelam aku tenang
bersama dawai malam aku berdo'a lantang
beri aku setetes ketenangan untuk para pejalan malam
biar ku tau tingginya langit.
dan
tawa setiap anak jalanan
Berdarah dan berdarah
nyawa tak berharga
mati di tanah sendiri
Salah siapa?
Siapa salah?
Pertanyaan bodoh !
Tangis dan Tangis
Anak tak berbapak
Ibu menjanda
Salah siapa ?
Siapa salah ?
Pertanyaan basi !
Kian tak tau duka
Kian tak tau derita
Kian tak tau neraka
Ah..!
Semunya berjanji
tak putus tragedi
pada tanahku sendiri
Germicik nyanyian anak hujan membuai
membuai angan pada ujung tari
tak sedikit getaran nokta kata memberi
memberi kesyukuran menikmati hari.
Basah.
Dingin.
Tiap ku bersuara
Basah.
Dingin.
Tiap ku merindu
Membias lentera wajah di benakku
wajah tiap inci percikan hujan.
Bulan Januari memuji pertemuan
kenangan itu kini tetap di pangkuan.
Desember ini aku menatapmu
Waktu hampir dua tahun memberi cerita
ceritacerita tiap rintik rinai cinta
Desember ini aku berharap padamu
Sekilas segalanya begitu terharu pada tiap detik
Sekilas segalanya begitu mempesona germicik
Di bawah gerimis Januari itu penyatuan tak pernah lupa
saling memberikan senyum penuh pesona
Kau aku tak lupa itu kita sama menikmati rinai hujan
saling menyapa bersama diatas dinginnya jalanan
bercerita tiap detak pertemuan yang lama tak bersua
Kini kembali kita bersama mengingat nyanyian gerimis
Di kota ini kita membuka rasa
Di kota ini kita sehati
Di kota ini kita membagi mimpi
Di bawah gerimis bulan Desember, ku tulis
untukmu rinai gerimis Januari.
Dan.
Aku menunggu terus Januari bersama kisahmu
/
Tertatih membawa keringat membasah
berjalan terus tanpa hiraukan kerikil tajam
berbaju kusam membalut tubuh lusuh
memilih apa yang bisa perut diam
di sisasisa pembuangan
Sekian kali kau lewat di mataku
Sekian kali pula aku merasakan hidupmu
Dari tiap langkahmu memberikanku hidup
dari tiap tanganmu mengobrak abrik sampah
Aku hidup.
Aku makan.
Semilir senyum terus itu aku tunggu di bibirmu
membuatku tak melupakan matamu
dalam anganku selalu bersamamu
bersama mengarungi pahitnya penderitaanmu
Aneh mengerumuni tanya pikiran kepalaku
tak mengerti ini hidup
Tapi.
Kesabaranmu menguatkan hatiku.
Inilah jalanmu.
Tetap bersyukur di hatimu
Di sisi itu aku membunuh keanehan kepalaku
Ya,tak ada yang aneh dalam lautan hidup
selalu tenang dalam perjalananmu
//
Pembuangan sampah ladang gandum yang ramah
biarpun dengungan lalat merayumu
namun itu kenikmatanmu untuk hidup
Pembuangan sampah rumah rezekimu
biarpun ulat belatung menari indah di matamu
namun kehalalan selalu tak jauh darimu.
///
Istri
Anak.
Menanti senyummu
Menanti belaianmu
Di saat kelambu senja membalut matamu.
Aku pun menantikanmu.
menantikan ceritamu
karna disitu aku menemukan arti hidup.
Membentang perjuangan diatas semangatu
peluru membaur penuh ganas diatas tubuhmu
tak gentar sedikit jiwajiwa dengan bambu
membara berapi mengibarkan negaramu
Tak penting nyawa terlepas di badan.
Tak penting keluarga tertinggal tepian.
Tak penting segala berhancuran
Satu kata yang selulu abadi. "Merdeka"
//
Kini tubuhmu terbaring di kardus usang
diam membisu tepian kumuh gersang.
Kini diatas kardus usang di sore itu
menikmati hasilhasil perjuanganmu dulu.
Kini jejakmu mulai terhapus keangkuhan
tak terperhatikan dalam pengasingan.
Begitukah balasan ?
Begitukah kemerdekaan ?
Begitukah harga perjuanganmu ?
Pertanyan pedih di hatimu.
Jejakjejakmu terkubur kegalauan
terhapus debu kehidupan.
Tersingkirkan dalam ruang hitam
dilupakan kemeredekan
///
Perjuangan itu terus berkobar ditubuhmu
mempertahakan kehidupanmu.
Tak sedikit keringat menguyur tubuhmu.
Di atas kuburan tua itu kau tersenyum
memberikan kabar pada se-perjuanganmu
"Kau telah merdeka kawan,aku masih berjuang"
Senyum menawanmu membias ketertarikan
memberi segala kenikmatan pada ke desakan
berlagak penolong bermurah hati
berapa selalu dikeluarkan tenang menanti
Tiap pagi dirimu datang membawa tagihan
terbayar senyumanmu terbuka tanpa basa basi
muram wajahmu tak terbayar tanpa kasihan
segala apa yang ada diisap tanpa ampun.
Gelarmu semakin semarak di pasar
Lintah darat.
Julajula tembak.
Rentenir.
kian ganas memakan untung berlipat.
Sekian kali juga dapat pelajaran
lari hutang semua yang dipinjamkan
memburuk wajahmu hitam amarah
namun keuntunganmu tak punah.
Riba tak peduli itu dosa bagimu
uang dan bunga itu tawamu
merampas isi segala kesusahan
makan memakan itu pendirian
Amarah sumpah serapah itu gurauan
air mata tak dipedulikan yang bersusah.
Kau beri modal
kau makan laba
kau siksa tangisan
kau tampar kegelisahan
disudut itu kauberkerja
Ah..
Lintah darat yang begitu manis
menghisap tanpa ampun.
Kemanakemana hari berputar sekalis wajah hambar
kian membuka kesunyian tepian dekap asing
kaulesu suara dikerongkongan pudar
matamata kaumerah menyalah lelah tenang
Jangan ganggu aku..!!
Jangan tipu aku..!!
Jangan daya aku..!!
Itu sulit kumendiamkan dungu.
Tarikan nafasmu mengubah
semangatmu menyala sudah
tiang itu kauterus bersuara meludah
tak peduli aku mati dalam syairmu punah
Keringat dari poripori meledak panas
tak kauhiraukan telingatelinga yang haus
ini tak dapat kutahan dari kelaparanmu membius
sekian dan sekian kaujual murah syairmu menganas
Kaubilang hanya untuk hidup.Sajakmu itu ?
Kau bilang hanya melepas diam.Syairmu itu ?
Kau bilang hanya melepas duka.Puisimu itu ?
Aku kau jawab
Untuk membela periuk nasi.
Aku kau jawab
Untuk sewa kardus tidur.
Aku kau jawab.Terakhir
Untuk senja diujung mimpi.
Jalanan.
Bis kota.
Terminal.
Rumah kumuh
Di bawah jembatan
Emperan toko.
Aku kau bersajak
Sajak.
puisi.
Syair
Aku kau selalu hidup.
Sekilas wajahmu bermain diatas reranting itu
memainkan alunan kerinduan para pembantu
tak lepas aku menikmati diatas pelaminan biru
melepas segala desah suaramu
Tenang jiwamu mengalir di debur ombak jalanan
tak sedikit panas itu membuatmu membatin
kulit hitammu seakan memberikan harapan
tak ber-bapak itu terasa tiap langkahmu yakin
yakin bertahan disetiap megahnya gedunggedung beton
Di tanganmu mengalir kekuatan untuk kemenangan hari ini
kerja tak peduli kadang itu nyawa taruhan.Tak peduli !
Nyanyianmu terus menghibur tatapan kehinan
namun nyanyianmu selalu tersimpan kekuatan batin.
Untuk selalu berjuang di jalanan.
Untuk senja ujung senja penuh harapan
//
Malam bercumbu bersama dinginnya mata merahmu
merebahkan penatmu diatas kardus bekas.
Tak ber-ibu itu terasa kadang di batinmu
namun dirimu selalu bahagia dimimpi termanis
Kini merayu matamu pada alam mimpi
mengharapkan suasana pada kerinduan.
Di sana dirimu ingin bapak ibu.
di alam mimpi penuh kebahagianmu.
Di bawah jembatan yang angkuh
semuanya mimpi dirimu tertulis
Tangis mengalir tenang ujung hutan
berserak keraguan buluh bambu
terpikirkan tentang norma ragu
mati rasa kelabu jingga ungu
kian dirasa detang jantung melemah
datang dan pergi pelangi kata
bercumbu keindahan debu pepohonan mati
begitu burung memberi kabar pada alangalang
Hitam bening aliran bertuba
bangkai berpesta lalat menggema
tak ada tarian warna sisik dalam telaga
begitu ikan memberi kabar pada tepian kali
Kering retak ujung kehausan insan
menggeliat tubuh kaku diam
vital merintih humus hambar keras
tiap menancap beton ujung kering
mati tak berlendir tubuh kering
begitu cacing memberi kabar pada tanah seberang.
Mata kaku tancap tanah pusaka
tertawa puas kakikaki baru
terbuang jauh badan asli kenangan lama
tarian murni kaku sendiri di ranjang usang
lingkaran malam hening tak bermanfaat
tarian asing tiap ujung mata mengiurkan
lama dan lama semua hilang tak berbekas
begitu tarian memberi kabar pada lengaklengok alam
//
Raja tinggal rintihan tahta
Penghulu tak tenang bahasa ibu tersingkir
Kian kelam dan mati
alam murka tangisan tawa
sumpah serapah bersenda gurau nyawa
mayat cacing engan makan
terasa itu perusak lukaluka serakah
Mengalir air hancur duka rumah desa
sawah mati kuning tak ber-beras
tinggal kelaparan tiap isi perut
tani tangis tiap dalam gubuk
tawa serakah gedunggedung megah
Biasaku pulang kampung disambut dinginnya gunung
Biasaku pulang kampung disambut pasukan hijau
Biasaku pulang kampung disambut nyanyian burung
Biasaku pulang kampung disambut musik aliran air tenang.
Kini panas gunung
Kini pasukan tembok.
Kini nyanyian rintihan
Kini musik kematian.
Biasaku mendengar panen beribu
Biasaku mendengar cerita legenda dulu
Biasaku mendengar suara nyanyain adat suku
Biasaku mendengar pesta para penghulu.
Kini panen mati layu
Kini legenda kuno bisu
Kini adat bungkam pilu
Kini penghulu dungu.
Biasaku bersama pituah ninik mamak
Biasaku bersama bimbingan keponakan
Biasaku bersama pangkuan anak
Pituah sunyi
Keponakan pergi
Anak hilang pengati
Rumah adat berhantu
Rumah adat tak tentu
Rasa
Periksa
Malu
Sopan.
Empat kata sakti
Kini dirasa perlahan mati.
Hilang alam
Hilang kebiasaan
Hilang kebersaman
Hilang pusaka
Hilang tatakrama.
Apa kaumerasa ?
Apa kaulupa ?
Apa kaubercerai ?
Apa kaujual ?
Apa kauasing ?
Ah...!!!
Kini ku pulang disambut keterasingan.
Kini ku pulang disambut budaya asing.
Jalan ini
Tidur tak pulas kami
alas kardus saksi
emperan toko bermimpi
Jalan ini
Tak nampak berdasi
hanya caci maki
lari menepi
Jalan ini
Badan berdaki
tergusur dengki
maut mendekati
perlahan mati
Jalan ini
Suara bungkam sepi
dingin selalu bersemi
habis segala alami
Jalan ini
Mata menatap negri
jadi budak rumah sendiri
tergiur asing membeli
jauh sekali dari janji
Jalan ini
Semua paksa disukai
semua aku benci.
Apalah daya badan tak mati
terus menikmati tawa para pendatang dengki
Jalan ini
Aku asli tanah ini
perlahan akhirnya terbunuh jua di jalanan ini
Hijau makan hilang
dedaunan hilang.
Nyanyian burung hilang.
Air mengalir hilang
ikan mati terbentang.
Anyir menyerang
gatalgatal meradang.
Tertawa puas meransang
Tangisan terasa dibawah.
Hilang pusaka bertuan
punah luntur ketenangan.
Tinggal pemandangan tembok tepi sungai
air mengalir hitam penuh tebengkalai.
Alam asli malang
sumpah serapah para bintang
merayu bencana menghantam petang
nyawa melayang,mayat berkapang.
Ulah siapa ?
Tangan siapa ?
Tangisan siapa ?
Mayat siapa ?
Tiap suara menyalahkan.
Tiap tangan memusnahkan.
Tiap air mata penyesalan.
Tiap duka mengalir badan.
Ah..!
Itu sesaat.
Renungan tinggal renungan baka
Untuk alam Indonesia kita
Tua tak sadar
Menikmati keangkuhan sadar
bercumbu bersama nyanyian dunia
melupa anak cucu bersama keluarga
bersenandung kutukan duharka
Tua tak sadar
Bermain umur berbau tanah
bergaya pada malam penuh sumpah
tetap dunia berpesta putih darah
tak peduli rasa hampir punah.
Tua tak sadar
Setan tertawa,ini surga
Malaikat kiri kanan di kata dusta
dosa nanti jadi bahan perhitungan
jelas puas apa yang dirasa jasat batin
Tua tak sadar
Mabuk indah pelukan api membara
membakar jutaan zina ingin selalu dirasa
tobat hanya mainan kata jelmaan nista
begelut tetap desah kenikmatan nafsu purba.
Tua tak sadar
Agama hanya ocehan lama
dah tau itu tak tergoda
Tua tak sadar
Dunia lama tak mati
tetap menghirup udara kesenangan dunia.
Tua tak sadar
Saat sakit datang menyapa
disitu tau umur tua
Tua tak sadar
Maut mencabut jiwa
disitu tau dimana keluarga
disitu tau dosa
disitu pertobatan tak menyapa
Tua tak sadar
tetap menari tak sadar
Seperti biasa mereka datang
Malam.
Sepi.
Membawa berbagai ikatan pecundang
Seperti biasa mereka datang.
Rintihan.
Lolongan.
Mencabik-cabik tuh tinggal tulang.
Seperti biasa mereka datang
Umpatan.
Caci maki.
Membasahi kulit dingin meradang
Seperti biasa mereka datang
Kenangan.
Kerinduan.
Mengerumuni otak pikiran usang.
Seperti biasa mereka datang
Istri.
Anak.
Menusuk hati penyesalan tak tenang.
Seperti biasa mereka datang
Bermungka masam.
Bermungka buram.
Nafas terasa pahit menghisap udara menentang.
Seperti biasa mereka datang
mencampakan sinar petang
memasukan siang kedalam malam.
Ah..!
Aku tetap terbuang
terbuang jauh bersama pecundang
Seperti biasa mereka datang.
Aku lah si tua adat budaya dicampakan kenangan
dimakan kebudayaan asing.
Nasib
Hari biasa ia datang seperti biasa
penuh senyum sejuta cerita
begitu selaluku tunggu ujung senja
Nasib
Si tua lama bagiku itu muda
kulit mengkerut seperti jalan kehidupan
membentuk pola dunia likaliku
begitu gambaran indah di langit biru
Nasib
Mata merah tak panas letih menentang api
perapian tempat pembakaran dengki
hangus hitam kelam hidup yang dijalani.
Menguning jingga pada penutupan siang merinai
tangis hiburan naluri terbias mimpi.
Nasib
Hari ini ia datang seperti biasa
penuh sejuta cerita
begitu selalu datang dan pergi.
Di ujung senja aku dan nasib menari
menari indah untuk selalu mensyukuri
segala apa yang didapat dalam hidup ini
18Pasar11Lima2011Puluh
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Peluru membabi buta
Darah beruba
Nyawa berbakti
Demi satu kemenangan duka
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Mengibar bendera
Menghormati segala puji
Demi pembuktian negara
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Serentak suara berbakti nusa
Kemenangan proklamasi
Demi bernama nusantara
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Tarian bambu kuning berbangsa
Mengusir penjajah durhaka mati
Demi kebesaran pusaka
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Tinggal kuburan dikenang pemuda
Pembuka kenangan pahlawan tersemati
Demi senyman para penerus bangsa
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Kini semuanya peduli lupa
Lupa kebanyakan tak berbakti
Hanya tau atau lupa ini merdeka.
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Suara tinggal suara
Semangat tak dilupa diri
Kami pemuda penerus bangsa
Selalu mengenangmu para pejuang bangsa
11112011
Menari-nari indah sinar cahaya kuning kebiruan
meliuk-liuk penuh makna dalam artian.
Menatap menerpa wajah manis penuh harapan
tarian indah cahaya kuning kebiruan
senyum manis pada penantian.
Menatap jauh kerinduan ujung cahaya kebiruan
membuka kata para penyair muda tepian
membaca syair kejujuran pada cinta harapan
ujung pasar penuh kerinduan.
Membias sekilas wajah pria cahaya kuning kebiruan
disana hati bertanya penuh kesucian
Merah pipi gadis manis
bersama merah bara cahaya kuning kebiruan
mewarnai hati tak diam lidah cumbu kasih
Gadis penunggu api
gadis manis penuh harapan.
Senyum indah pada cahaya kuning kebiruan
senyum manis penuh cinta
Di ujung pena itu kumerasakan darah itu mengalir
darah yang begitu sunyi
namun darah itu begitu deras mengalir
membiusku dalam kegelisahan takdir
Tanganku tak kuasa untuk menahan gejolak
gejolak kutukan para pejalan malam
Aku kaku ruang gelap
darah itu terus menghujam
mengempaskan segenap jiwa gelap
Tiapku menahan
tiap itu darah mengempaskan jiwaku
Aku lupa,aku bukan penulis
Aku lupa,aku bukan cerpenis
Aku lupa,darah itu yang memvonis
selalu untuk menulis
Wajah-wajahmu berterbangan angan
menyudutkan jiwa kelam penantian
menghujam keserakahan jiwa kebosanan.
Jenuh datang membawa secarik asa
mengobarkan noktah aksara penitahan.
Jangan ganggu aku duka
aku ingin semuanya seperti kaca
nampak segala apa yang berkaca
kaca tak pernah berbohong nyata.
Jeritan pendosa tak pernah bungkam
membawa kegamangan para pendendam.
Aku coba memahami aksara tua
biar tau sedalam mana derita.
Aku coba menulis aksara cinta
tanganku diam seribu kata.
Aku hanya ingin bercinta.
bercinta bersama gadis-gadis noktah aksara
itu aku ingin dari semua dunia
melepas segala nafsu pusaka padamu dara.
Gemuruh hari badai lautan
terombang ambing ketulusan
sendiri bunda di atas sampan ganas lautan
menuju tanah seberang kehidupan
Teriak tangis nafas bergejolak
sakit mendayu diri menahan siksa
bertahan tiang harapan anak
mengantarkan benih kehidupan jiwa
Tangis terdengar penghibur jiwa
genggam tangan kuat batin
Lupa sakit.
Lupa maut.
Demi kelahiran benih cinta.
Aku pun lahir.
Aku selalu dungu dengan cinta
tak terjamah segala kampung romunsa
jauh begitu jauh.
Aku selalu merasakan cinta
lekat di jiwa penuh duka
dekat begitu dekat.
Titian malam aku coba memahami cinta
bersama alunan nyanyian para pejalan malam
tiap suara hanya cinta
hanya suara dan terus suara
Pekanbaru; 31Pasar10Lima2011
Membias senyum ujung pasar
terbawa keindahan cinta
aku diam untuk samar
begitu resah jiwa menyuka
Berharap tak pernah mati
selalu membuka keyakinan
aku tenang bersama sepi
merindu kehampaan batin
walauku tau cinta sulit dinikmati.
Ujung tenang kumulai merasa
merasakan begitu jauh cinta
namun aku selalu untuk memahami cinta
Berterbangan mimpi jauh angan
senyum lamunan memulai keinginan
menggapai keangkuhan hati kudian
tetap kenyataan dirasa emperan kalian
Ruang tiga kali empat tersusun rapi
merapikan relung jiwa menerima sepi.
Bapak.Menerapkan perjuangan diri
Ibu.Mendongengkan alunan peri
Anak.Terlena kata kedua hati
Mencoba terus membersihkan kesabaran hati
dari tiap debu kebosanan dengki.
Terima segala ada.
Terima segala tak sia-sia.
Terima segala kenyataan.
Do'a terus terucap
bersyukur terima takdir.
Keluarga emperan kota tersenyum bahagia.
Tetes demi tetes kenagan membasahi tubuh
meresap masuk kulit hitam
merasakan dingin tiap sudut gundah
Jemari mulai memaknai tiap tetesan
Selalu cerita membekas tiap malam
meningalkan embun kerinduan diam
tak sedikit lelah kadang mendendam
harapan selalu jadi titian senyum
Tetes demi tetes dirasa untuk ungkapan
pelajaran diri selalu memuaskan
walau berat menerima goresan kenangan
disitu semua dimulai pencarian untuk cinta
Kelam menyulam angan lurus tepian jalan
rintik hujan begitu manis menyentuh tubuh
membuka tabir kerinduan angan.
Angan pada setiap menit kehidupan
mengores cerita lama pada catatan musibah
Membias keterasingan kini ujung luka
luka pemberian kata ujung bibir kesetiaan
Butiran rintik hujan membuka wajah
wajah manis telah hilang ditanam tanah merah
meninggalkan duka dalam ujung lidah
Pada setiap tetesan rintik hujan disana ada gelisah
Setiap bernafas.
Setiap memandang.
Setiap melangkah.
Terukir senyum kebahagian pada kenangan lama
Aku bukan penulis
aku hanya seongok daging terbuang.
Terbuang kebisuan pengemis
Aku bukan penulis
aku hanya debu jalanan pengamen.
Pengamen nyanyian anarkis
Aku bukan penulis
aku hanya peluh anak jalanan.
Anak jalan yang terbuang sadis
Aku bukan penulis
aku hanya goresan usang kupu-kupu malam.
Kupu-kupu malam penikmati goresan luka tangis
Aku bukan penulis
aku hanya anak putus sekolah.
Anak yang tak berilmu cerpenis
Aku tangantangan yang tak bisa diam
berkerja tiap siang membuka pagi
menyentuh tiap tetesan keringat diam
Aku tangantangan selalu ingin memberi
memberi kepedihan hari yang selalu dilalui
tak kecuali pada ranting kering ujung diri
Aku tangantangan benci menampung
hina segala hanya bisa meminta kasihan
bukan itu ingin hidup walau tanganku hilang
Aku tangantangan masih bernyawa
hadirku selalu mensyukuri
segala pemberian Sang Raja Manusia
Meresap malam tubuh dingin
berjalan kaki gontai basah
tikus sibuk makan
sisa mata aku pedih
membawa otak perbuatan
lorong pasar jalan sampah berjalan.
Tajam begitu serakah hati
memilih keinginan tak menanti
aku penanti rapuh hati
jauh menjauh cinta abadi
rokok dahaga nafsu berhenti
terasing dan terasing untuk ini.
Pergi jauh kau diri
buang jauh diri mereka perapi
dosa sekarang balut aku
pengampunan jauh aku.
Kawan
Ini perjalanan kita
segala keinginan kita do'a
namun apalah daya
takdir jua berkata.
Suara tangis menusuk malam dingin
rintihan nafas terus mendendam.
Aku mati...
Tidak kau hidup...
Berkecamuk jiwa laki ujung dendam
melawan keterasingan derita malam
Diam kau...
Aku tak akan diam...
Menyibak segala kutukan diri
menghantam jeruji keangkuhan mati
Tak ada rasa kepedulian diri menyiksa
terus menahan mengigil keinginan dosa
Aku tak ingin...
Kau selalu ingin...
Membayang kenikmatan sesaat terus mendesak
tangisan pecah membasahi dinding terkutuk
Semua kelam.
Semua diam
Laki mati jahanam.
Setan narkoba tertawa puas tak bungkam.
Cerita membuka tabur pemahaman hati
membuka ilmu alam penuh kata
hamparan jiwa meresap tepian diri
begitu kecil aku di alam semesta.
Keangkuhan merusak pemandangan murni
membakar paru-paru kesejukan batin
mencemari air bening kehidupan mati
Adat lama terbuang sayang pengasingan
sejarah asal nyanyian burung pagi sunyi
Cerita membuka pemahaman pilu
menutup ilmu alam penuh kata
hamparan jiwa mati dungu
begitu besar aku rindu alam dulu
Aku berkerja berbaju kuning
Bersenandung keringat titian siang
meresap impian siang pemberi tenang
deretan tenaga terus bertahan gamang
Aku berkerja berbaju kuning.
Keluar masuk segenap titipan.
Keluar masuk segenap kepercayan
terus senyuman mewarnai titipan
terus terimakasih mewarnai kepercayaan.
Aku berkerja berbaju kuning
Menatap berlari depan pasar
hilir mudik melepas bantuan
upah juga menjadi dasar
hanya seribu.
Aku berkerja berbaju kuning
Kadang kepercayan tak selalu datang
ditakuti kepercayaan hilang
namun harapan terus membantu tenang
Aku berkerja berbaju kuning
Terus berusaha menikmati hari
Ini aku berkerja berbaju kuning
untuk terus berkerja
demi titian hidup.
Dan
Aku lah si tukang parkir
Kau pelacur ?
Bukan.Aku perek.
Kau lonte ?
Bukan.Aku Astaba.
Kau ambai-ambai ?
Bukan.Aku kupu-kupu malam
Kau perempuan malam ?
Bukan.Aku sampah masyarakat.
Kau manusia ?
Ya..Aku manusia seperti kalian.
Pelacur.
Lonte.
Ambai-ambai.
Perempuan malam.
Kupu-kupu malam.
Aku juga manusia yang punya hati nurani.
Sejenak tubuh mungil merasakan tepian angin
melepaskan rindu diam bisu ujung lidah
menatap mata basah gundah kenyataan
bersama mata-mata lain menghitung hari tersisih.
Sejenak tangan meraba kecupan perempuan
perempuan bersama dulu kasih sayang
suara panggilan berlari kecil bayang.Ibukah itu ..???
berpeluk menggapai bayang hilang.Dimanakah Ibu...???
Sejenak tubuh tersungkur tepian jalan
bergetar tangis kutukan
terdampar jauh kota tepian.
Sejenak tubuh mungil merasakan dunia jalanan
begitu dan begitu kini mata-mata itu bertaburan
bersama terik matahari jalanan.
Pekanbaru; 8 September 2011
Berlabuh seutas kata kerja
berkerja bertanggung jawab suka.
Lelah terbuai seutas senyum ujung rumah
dua nyawa harapan serpihan kelanjutan sumpah.
Kadang lajur kebosanan menyergap benak.
menusuk jiwa terasa kepedihan kanak.
Tak peduli itu tawa rintihan duka
anak peduli dalam keluarga
istri isyarat kekokohan jiwa.
Tenang selalu giat wajah untuk induk beras
Tenang hamparan pelukan anak beras
Senyum sambutan hangat diharap
pada senja pengantar pulang dipintu rumah
Kasih...
Mari kita persembahkan cinta pada suci
biar tau sedalam mana sayang terpatri
halangan hanya permainan dengki
keyakinan membuat cinta tak mati
Kasih...
Sandarkan hati pada ketulusan
biar kita memahami arti cinta.
Kasih...
Hapuslah butir-butir bening matamu
selalu membasah di pipimu.
Yakinlah
Kita selalu untuk bersama.
Aku selalu tertatih siang.
Aku selalu menyepi malam.
Siangku perjuangan menyambut petang.
Malamku merenung titian diam.
Serpihan hati berharap.
Jiwa menyambut kenyataan.
Hatiku bertahan hidup.
Perih membuka gelisah jiwa pujian.
Mata perih tenang raga
Raga kumal berdaki
Tiap memandang itu duka.
Namun inilah daki takdir suci.
Hidup.
Waktu.
Jalani segala sulit untuk menang.
Menanti lain waktu lain dunia.
Itu aku yakin.
Asa Indah menari-nari dibenak
khayal bagai diam kecil dalam langkah waktu
janji tak pasti akan kesolehanya
bak embun di taman harap.
Ketika cahaya mata membuktikan
cinta bertahta muliya
angan berterbangan
rindu merajut sukma.
Bila yakin telah dihati
jangankan gonggongan
angin ribut pun tak mampu mengusir
kecuali Tuhan berkehendak
gigih hati tiada berati.
Terasa sunyi.
Ketakutan menegakan sibulu roma.
Tak ada suara.
Tak ada sinar.
Tak ada kehidupan.
Hanya detak-detak harap berdenyut.
Ukiran rindu terpahat
didinding yang menangis.
Mana?
Dimana kehidupan?
Kini musnah sudah
tinggal puing-puing kerinduan
yang tenggelam di air mata.
Ya...
Hatiku mati.
Tinggal sunyi.
Kini asaku tahu mimpi.
karna harap adalah kecewa.
Tuhan...
Lihat kekosongan ini.
Dengan jeritan terkikis ini.
Terpakurku diatas bumi Mu
beri kehidupan dihati lagi.
Surya menjilat
menyentuh kulit kumuh noda jalanan
Kekurangan jadi unggulan
penarik hati yang berhati.
Pakaian lusuh bercampur kumuh
cabik berbau
tak dapat dimengerti
pembawa nasib atau tahtik
maksa mencari hati yang berhati.
Wajah memelas.
Tangan gemetar tengadah
Senyum ditekuk.
Sekedar mengharap receh
dari hati yang berhati.
Walau Rendah derajat
punya kewajiban perut.
Walau rendah martabat
punya keinginan hidup.
Ini aku.
Mereka sebut sampah masyarakat.
Ini aku.
Mereka usir,kasari.
Ini aku.
hanya sekedar membela jeritan perut.
Ini aku.
Mempertahan kan hidup
mengharap hati yang berhati.
Terpancar cahaya dari telinga kasih
terangi jiwa yang mengembara.
Damai di pangkuanmu
ketika terlelah melawan targis dunia.
Ibu.
Baris kata
Pituah.
Pembimbing jiwa.
Penyelamat badan arungi samudra kehidupan
Ibu.
Bermuara lelah setiap sendi
terukir juang di legam kulit.
Kadang kau ubah tenagamu menjadi sosok pria
demi sebuah hati.
Namun senyuman selalu di mataku.
Ditelapak kakimu.
Kadang kianatku membalas neraka di hatimu.
Ma'af selalu bermuara tanpa pinta.
Melebur keringat siang dinda
membasahi kulit lembutmu
tetap terus berjalan tanpa denda
peduli itu rasa pada kehidupanmu
Meresap udara berdebu paru-paru dinda
tak dihiraukan segala para pecundang
keluarga penting memberi hidup bunda
kian hari kian aku tau dirimu tenang
Panas.Hanya desah keringatmu
Debu.Nafas kehidupanmu
Berdiri menanti pemilik titipan
tak pernah bosan menanti menjaga
tak sebanding aku merasakan upahmu
hilang titipan habis segala upah
Berbaju kuning ujung toko
cerita itu terus ada untukmu dinda
Hari itu
Pagi kelam dingin perpisahan
derai hujan bersuara pilu
salam berat melepas tepian
basah air mata titian mendayu.
Hari itu.
Berkicau nyanyian murai
menembus jantung ranah.
Melapas Gonjong Rumah Gadang
hati meratap anak laki pergi
Hari itu.
Tapian merayu tetesan mulai kenangan
Surao kelam ambun permainan
kian jauh langkah kaki berat
kaku hati merantau titan adat
Hari itu.
Saluang menyibak rantau
Sarunai jiwa berkecambuk.
Bundo memeluk laki haru
Harapan air mata bundo,
memberi petunjuk.
Lepas aku.
Tangis aku.
Merantau aku.
Hari ini.
Di rantauku menatap hujan.
Di situ aku menangis rindu
Titian kata bernaung kucoba untuk memahami
segelintir suara selalu pahami diri
begitu sepi
begitu menanti.
Tersiar hati rembulan kenangan indah
bersama pemandu cerita menyentuh
meresap duka
membuka mata
Sekeliling mata senyum terbawa
terbawa pemberani berdakwa
melayang jiwa
melayang tawa.
Sepucuk surat titian kata
untuk rantau kini terbaca.
Uda...!!!.
Kata ibu bahasa asli
menyentuh gendang telinga rindu diri
jauh menyuruh ingin pulang asal negeri.
Adiak...!!!
Kata ibu bahasa asli
keluar berat menyadari
sabar balas akan pulang nanti.
Menari umpama untuk rindu
rantau jauh hati terasa menunggu
menunggu hari izin bersama kekasih dirindu.
Mata jauh memandang
menembus atap rumah tua
gelap sunyi.
Sayup terdengar suara telinga
membawa sinyal lapor otak
memahami berkerja pikiran mengenali
tangisan itu otak berbicara.
Mata mencoba membuka lihat
tangisan siapa itu ?.
Terlalu silau terasa tak nampak
anak kecil itu mulai fokus mata
Anak siapa ?.Itu aku.
Kamar apa ini ?.Berserakan
kaca pecah bertaburan
tempat tidur porak poranda
lemari bekas hantaman hancur
tangan darah terasa pekat mata terlihat
mata sekeliling tergambar ruang bertuba.
Darah luka anak.
Darah air matak Anak.
Tubuh lebam anak.
Sisa siksa baru,membekas
Itukah Aku ?.Iya.
Pedih mata sakit tak tahan pandang
gelap mulai gelap takterlihat
kembali semua keruangan
ruangan lain tempat kini
terjaga basah peluh badan.
Mimpi atau itu aku dulu?.Aku gelisah.
Gelisah pilu untuk mimpi nyata aku dulu.
Pekanbaru 19072011
menempel jauh kulit pejalan siang
tak terhiraukan sudah
biasa bagi anak tak tenang.
Koran tangan peluh untuk makan
berdiri tegar samping berhala pengatur.
Merah :
Harapan membuka untuk hidup
mendekat kaca pembawa pembeli
berlagak bersuara
"Koran..koran...koran...!!!".
Kuning :
Harapan mulai untuk pergi
kaki melangkah untuk akhir berlagak
suara tetap untuk bersuara hati.
Hijau :
Kini kembali pada berhala pengatur
melihat segala harus bermacam kehidupan.
Harapan terus menunggu perintah berhala pengatur
untuk sedikit kehidupan berlanjut.
Melebur pemberian dingin malam
membawa setiap rintik air
aku menyatu jauh bersama malam
terbang melayang menuju tanah pesiar.
Aku selalu lemah dingin
kelakian tergoda perayu kenikmatan
dosa penghibur perbuatan
rintihan kucoba untuk melawan.
Habis segala mantra terucap
hilang akal pangkuan khyalan
aku berubah lesu mengecup
aroma bini jauh seberang penantian.
Belaian meraba sensitif tubuh
membuka aura kenikmatan sesaat
tangisan bertahan jenuh
coba menjauh kelakuan sesat.
Perang batin ini di rasa
kesunyian malam aku tersiksa
keyakinan agama coba bertahan
Akhir aku serahkan ini Pada Nya.
Pekanbaru 19072011
Silih berganti kata datang menjawab
mata mencerna layar kecil.
Otak berkerja memberi tau,tangan bergerak,
ganti berganti huruf di injak ujung jari.
Menanti dan menanti itu harap kiriman masuk.
Tak tentu pembawa kata tersesat
alasan melapor penuh jalan
termenung sesaat jari tak bergerak
balasan hanya ucap rindu.
Pagi
"Dah sarapan..?.
Dah jangan lupa sarapan"
Siang
"Dah makan siang..?
Dah jangan telat makan siang".
Sore
"Dah mandi..?
Dah mandi dulu".
Malam datang kata meninggi
membuka segala rasa
berandai jauh jasad dekat khayalan
pujian menjadi tiap kata.
"Aku rindu kamu..!!!"
Kantuk datang kata di tutup.
Tutup menutup mimpi bertemu
"Met tidur !
Mimipi indah,mimpi aku".
Akhir kata
"Aku cinta kamu"
Pekanbaru
Saat berkata mungkin pernah berdusta.
Saat berjanji mungkin pernah mengingkari.
Saat bercanda mungkin pernah menyakiti.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Kekurangan,khilaf milik manusia.
Marilah kita saling mema’afkan.
Selamat hari raya Idul Fitri 1432 H
Minal aidin walfa izin
Mohon ma’af lahir batin.
Menginginkan bangsa makmur
Engan janji palsu
Rakyat butuh kenyataan
Darah hentikan tumpah.
Embuskan saling peduli.
Kuatkan ekonomi
Adili seadilnya korptor
Suara teriakan menyesak.
perih segala dirasa dunsanak
para kecil teteskan keringat.
menatap dua warna berkibar hebat.
Merah.
Putih.
Merdeka...!!!
Merdeka...!!!
Merdeka...!!!
Jauh mata memandang
sejauh itu tangisan anak mengaung.
Merdeka negara itu sejarah
Pahlawan itu gagah
Tumpah segala darah.
Itu kebangaan.
Kini
Ternoda berbagai kehitaman
berpesta pora kesengsaraan
terbuang ujung tangan mengadah
setiap lorong kehidupan.
Namun cinta tanah air selalu di rasa,
mengibarkan,menghormati merah putih
Deretan senja begitu indah
memberi segala ingin pulang.
Aku menatap lirih
jalan ini ku masih tenang.
Dahaga bermain ujung nafsu.
mengoda keinginan makan.
Bertengkar aku bertiga merayu.
tertahan melawan aku bertahan.
Semenit lagi...
Lama lagi..
Tidak..
Iya..
Dosa..
Ah !.Suara pengoda.
Aku tak akan percaya lagi
Batin.Lahir.
Menunduk coba iklas.
Pekanbaru 23082011
Terbuka pembuktian angan
terseok untuk bertahan
gersang otak
tertutup suara desak
keadilan tipu untuk tegak.
Suara sensai mencari duka
saling hancur menghancurkan kawan
biar tau ini salah benar segala
muka cari kebanggan
politik memuakkan.
Menangkan berusaha paling benar
perpecahan tawa itu kafir
berjalan akui musafir
iblis merayu neraka usir
keyakinan musnah luntur.
Kesatuan simbol kosong
biar tau satu
dalam berkeping-keping
uang segala merayu
tanah kelahiran hilang
hilang kuasa orang asing.
Pekanbaru;28072011
Hujan menghantam laki
menusuk kulit tulang
bergetar dingin tubuh laki
kerja dan kerja datang
Petir itu suara tak didengar
ingat hidup makan untuk anak
basah kuyup itu pembersih sadar
got selokan tempat tanak.
Bau dan bau itu tarikan nafas
tak peduli kuman penghancur kulit
tak peduli itu najis.
Ini hidup untuk hidup.
Detak jantung berpacu
berpacu untukmu gadis
selalu ingin menikmati ruang berdua
membuka segala tabir para pencinta.
Mari benyanyi untuk hari ini
hari hati pemuja cinta.
Pegang tanganku yang awam ini
kan kubawa dirimu menelusuri segala taman
taman tempat kita untuk selalu berdua.
Lihat itu gubuk cinta
tak lain hanya gubuk
tak ada penerang
cinta kita penerang.
Maukah seperti itu gadis ?
hidup bersama anak pengasingan
sudut pasar kumuh
gembel kehidupan untuk hidupku berharap kita bisa untuk memberi cinta.
Mereka juga punya cinta
sama seperti kita.
Mereka juga punya penerang
sama seperti kita.
Sudikah dirimu menikah denganku ?
berpesta kita bersama mereka
mereka para orang tua yang dilupakan
lupa dilupakan zaman anak mereka
mereka akan selalu menghibur kita
bermacam dongeng cinta mereka tau.
Sungguh dirimu mau itu
aku pun begitu
ini cinta kita
ini kehidupan kita.
Ujung senja kuberpikir
inikah hidup?.Hidup untuk hari ini
segelas cerita aroma kelanjutan hidup
membuka secarik pengalaman jiwa.
Lara terasa berat otak bepikir
tanah perkuburan menjadi jiwa
ayah bunda alam sana.
Sebatang kara itu bukan pilihan
takdir ketetapan untuk hidup
aku resah kadang ingin tak itu
namun waktu selalu berkuasa.
Ujung senja segala memberita
untuk pemberian segala mulai hidup
tetesan air mata tak berguna juga ingin itu
segala terasa basah wajahku mulai tua.
Bukan itu aku, aku goyah
tapi berapa sudah aku lupa
lupa tentang keinginan hidup
selalu terpacu diam seribu kata
Ya,,,,
inilah hidup untuk selalu hidup
ujung senjaku mulai hidup untuk kehidupan.
Seiring malam sendiri peduli
berpikir rasa ingin melewati ini
bersandar bersama tembok lembab
merasakan dingin menusuk sum-sum kelakian ingin.
Cerita lama bergentayangan
membuat selalu terulang kembali itu
terus menghantui pikiran tuan
meringis jauh suara jauh pergi
menahan tusukan berdarah kerinduan malam.
Segelas penuh hampa hambar rasa
membasahi kerongkongan hina sepi
begitu juga harapan,berbaring tikar tua
menunggu tak pasti kenyataan.
Lidah kaku tuan menyiksa
luka berdarah tuan diam
sesak dada bosan hidup sepi
tuhan tetap tertawa kebodohan.
Aku..
Pejalan malam melihat
palsu segala durhaka
begini dan begini bimbang
kali tiap malam ingin bebas
terjauh wajahku lihat keinginan terpendam
dinding lembab terasa kutulis
merasakan ini kehidupan sepi malam.
Adopun tujuan jo mukasuiknyo, mangko jo darah samo tibo, sirah hati pakek panganan lambang barani, lahia batin indak manaruah gamang-takuik. Mangapa tangan suok kida mandongkak, manyipak-nyipak, itu ma’ana urang bagak, medan galanggang nan nyo hadang cakak nan tidak kunjuang damai. Pakiak bukan sumbarang pakiak, sorak kumando dilewatkan ibaraik badia jo mariam, tando nagari dalam parang. Mako pado hakikatnyo nak, hiduik adolah perjuangan dan satiok perjuangan bakandak manang. Kamanangan janjang ka istana manuju kirisi di partuan. Sasungguahnyo manusia adolah rajo, badaulat di muko bumi Allah bana nan manobatkan, “Inni ja’ilu fil ardhi khalifah”.Untuak itu Ayah pasankan nak, usah manjadi rajo kalah. Nan bajalan manakua-nakua. mangecek tatagun-tagun, hilang banso punah martabat. Manambah gantang tatanakkan, manyamak dalam nagari. Kalau Waang nak tau juo nak, iduik nangko indaklah lamo, dunia hanyo sakijok mato. Caliaklah contoh jo ibaraik, maso laia di songsong abang, mati di anta dek sumbayang. Antaro abang jo sumbayang, sinan kamat dibacokan hinggo itulah jatah umua. Bakato Muhammad Iqbal, apolah kato dek baliau: “Umur bukan ukuran masa, hidup tidak takaran zaman, sehari singa di rimba, seribu tahun bagi si domba”.
Mako dari itu nak, satiok kakok ka diawai, rundiang sapatah ka disabuik. Bulek lah bana kato hati, sasuai dalam kiro-kiro, naiak-kan dulu ka daraik, caliak timbangan hukum syarak lai kok dalam ridha Allah. Itulah naraco nan tak paliang nak sarato bungkah nan piawai, indak mangicuah salamonyo.
Baa kakanyo rumpun aua, tapuntalang buluah bambu, nyampang tumbuah hitam tapi lereang tanah suko, tabiang mamuji. Kok indak lah urek nan mangungkuang taban bandaro sadionyo. Bukik pun indak taseso, lurah di bawah talinduangan, gagang manjelo dapek junjuang, maso rabuang carian urang, kok gadang banyak manfaat, lah tuo paguno juo. Baitu sifat ka dipakai nak.
Kayu baringin bapucuak cewang ka langik, tinggi malepai awan biru, pidoman musafir lalu. Daun rimbun buliah bataduah, bakeh balinduang kaujanan, paneh kaganti payuang panji, ureknyo tampek baselo, batang nan gadang kasandaran, dahan nan rampak ka bagantuang. Aratinyo panutan di masyarakat, cadiak ka bakeh rang batanyo, kayo-ka tampek rang batenggang, bagak tumpuan ka mangadu. Satitiak katonyo di lauiktan, garak dibari jadi contoh, sifat ka suri jo tuladan, sumarak urang di nagari. Perduli dnegan lingkungan, baitu ungkapan maso kini. 7
kaba baraliah, inyo lai sungguah baraliah sinan juo dikaji, tantang bio-bio. Nan dikatokan bio-bio nak, bagagang mamanjek samak, biaso tumbuah di baluka roman saujuik kacang paga. Buahnyo baduyun-duyun, kulik bakilek kuniang hamek haluik babulu anak kuciang, itulah miang sabananyo.
Sumpah, kutuak, caci-makian, upek caraco, caruik kungkang, dibanci salamo hiduik. Jangankan ka mandakek, mandanga namo sajo lah jajok. Kok kunun maliek ka pamenan. jo api mamunahkannyo nak tunggua dikikih dilantiangkan, baitu doso kacang miang.
Nyampang kok kito manusia mamakai sifaik bio-bio, sakampuang kanai miangnyo manggata turun-tamurun. Jauahkan laku nan baitu nak, buliah salamaik hiduik awak. Cubo wa’ang bayangkan, ulah dek asuang jo pitanah, gunjiang kian kincah kamari, bisa mararak kasiah sayang urang balaki di sibaknyo. Tibo didagang panggaleh lahabiah di timpo kabakaran, tansano api nan mamakan tingga juo puntuang baronyo. Taga dek bingik dangki urang toke manjadi anak buah. Santano kantua ditimponyo direktur masuak pinjaro, manajer dipecat tagak, sekretaris tabaok rendong. Untuak itu Ayah ingekkan, hati-hati dalam bagaua, banyak batamu bio-bio nak ulek bulu namonyo juo. Karena bak cando jujur muluik manih baso katuju, awak talen parlente pulo panampilan pun mayakinkan. Ado kalonyo potongan dukun paham rasio dalam batin pandai manakok hati urang. Kadang-kadang bantuak ulama, hadihnyo balapiah-lapiah, ayatnyo bak ilia-ilia, iko dalia iko ma’ana. Ado juo rupo sarjana tau jo pasal undang-undang hukum pidana jo perdata. Geleknyo baragam, kicuah jo kecoh nan nyato inyo manyerak miang cundang kabaji nan nyo agiah.
kaba baraliah, inyo lai sungguah baraliah sinan juo dikaji, tantang bio-bio. Nan dikatokan bio-bio nak, bagagang mamanjek samak, biaso tumbuah di baluka roman saujuik kacang paga. Buahnyo baduyun-duyun, kulik bakilek kuniang hamek haluik babulu anak kuciang, itulah miang sabananyo.
Sumpah, kutuak, caci-makian, upek caraco, caruik kungkang, dibanci salamo hiduik. Jangankan ka mandakek, mandanga namo sajo lah jajok. Kok kunun maliek ka pamenan. jo api mamunahkannyo nak tunggua dikikih dilantiangkan, baitu doso kacang miang.
Nyampang kok kito manusia mamakai sifaik bio-bio, sakampuang kanai miangnyo manggata turun-tamurun. Jauahkan laku nan baitu nak, buliah salamaik hiduik awak. Cubo wa’ang bayangkan, ulah dek asuang jo pitanah, gunjiang kian kincah kamari, bisa mararak kasiah sayang urang balaki di sibaknyo. Tibo didagang panggaleh lahabiah di timpo kabakaran, tansano api nan mamakan tingga juo puntuang baronyo. Taga dek bingik dangki urang toke manjadi anak buah. Santano kantua ditimponyo direktur masuak pinjaro, manajer dipecat tagak, sekretaris tabaok rendong. Untuak itu Ayah ingekkan, hati-hati dalam bagaua, banyak batamu bio-bio nak ulek bulu namonyo juo. Karena bak cando jujur muluik manih baso katuju, awak talen parlente pulo panampilan pun mayakinkan. Ado kalonyo potongan dukun paham rasio dalam batin pandai manakok hati urang. Kadang-kadang bantuak ulama, hadihnyo balapiah-lapiah, ayatnyo bak ilia-ilia, iko dalia iko ma’ana. Ado juo rupo sarjana tau jo pasal undang-undang hukum pidana jo perdata. Geleknyo baragam, kicuah jo kecoh nan nyato inyo manyerak miang cundang kabaji nan nyo agiah.
Pura-pua ibo, kasihan katonyo ingin nak manolong barisuak urang batagak gaua gawik gapai sapanjang jalan baliau mangakeh di subaliak. Ma adoh iyo urang macam itu nak, adoh sifaik nan ka dipakai, yaitu manjauah. Ibaraik marambah bio-bio kok hanyo dioyak dari bawah atau diruntun diratehi alamaik miangnyo batebaran badan ang juo nan kagata. Kalau ka tangguang-tangguang masuak sakadar badebat manumpalak eloklah manyisiah sajo. Sabab dek aluih makan jarumnyo, rumik mancari jajak masuak. Indak batali ka diri atau tampuaknyo ka dijinjiang
Halaman 3
Mako dari itu nak, karano waang lah SMA nan Insya Allah tanago Ayah kuek juo, talakik manyambuang ka fakultas, kini-kini Ayah pasankan nyampang kok jadi mahasiswa, sampai-tak sampai di wisuda, jaan pasang jarek samato jadi pagawai di kantua-kantua. Karano pitiah tiok mangarik, sogok-manyogok lah biaso atau dek sabab karano lain indak manabuak cito-cito. Mako, bukak-lah usao surang, bewiraswasta, bahaso kalian. Jaan tagoda baman jo pagawai, kok indak di kantua indak ka makan, badasi juo ndaknyo, musti sanggup mandiri, bedikari. Ingek kato Bung Karno "Kesempatan itu bukan ditunggu tapi diciptakan". Kalau hanya hiduik manunggu, samo awak jo lawah-lawah, sifaik pasif tu mah namonyo. Sadangkan awak harus agresif, progresif dan dinamis. Baitu karakter urang Minang, watak pusako dari dulu, kini kalian mawarisi. Adopun nan ka di pantang ka dihindari, laku parangai dek binalu, sifaik cilako dibaoknyo. Takalo bamulo, inggok manempe di kulik dahan, duduak di ujuang-ujuang rantiang. Eloklah baso batang limau, urang bataduah di baok naiak, dijamu dibari makan, tamalam diagiah lapiak. Dek lamo lambek manompang mulai bapucuak salai daun, kian hari batambah rimbun, urek manjala-jala juo kini malilik mangulampai.
Akia kato sudahan kalam, nyo barantiang badahan rampak, badaun babungo kambang, batang gampa urek mancakam, kalahlah nan asa dek nan tibo. Kini limau tingga jo namo, ujudnyo nyato la binalu, sumpah bagumam batangguangkan. Jauahkan sifaik nan baitu nak, gadanglah doso mudaratnyo. Tahu-tahu iduik manompang, awak buliah urang tak rugi, usah kalamak dek awak surang, cadiak buruak tu mah namonyo. Licik, kato urang subarang, diagiah hati, bakandak jantuang, nan bak Balando mintak tanah. Buruak laku, jaek parangai, aka ciluah busuak pangana, niaik tak lain maniayo. Banasehat para pujangga, Jangan ciptakan kebahagiaan di atas penderitaan orang lain atau bahaso populer Minang Kabau "Lamak dek awak katuju dek urang".
Halaman 4
Urang lah mati indak makan, rimah disapu ka ilaman, pantangkan bana tu nak kanduang. Mambunyikan tipi jo radio, usah sahabiah-habiah puta, tenggang subalah-manyubalah. Mungkin anaknyo baru lalok, tagaduah urang sadang damam, pikiran samak-samak ibo. Samantang awak naiak honda, kanalah urang jalan kaki, kanai potong indak mambaa, nak nan bedo kabuik di balakang, bunyi knalpotnyo nan manyeso. Kasimpulannyo, walau binalu nan tatuduah ambiak ibaraik jo itibar usah manari di ateh bangkai, Ayah tak suko tantang itu.
Nah… itulah nak, itulah pitaruah Ayah. Kok nasehat ko lah namonyo, kok pituah ka Ang katokan. Nan nyato utang ka anak lah taansua. Lain hari Ayahlansaikan. A . . . baa Ang kini, karano hari lah laruik malam, badan latiah, mato takantuak, kito baganjua lalok dulu. Insya Allah bisuak kok lai iduik juo, disambuang guliang, ditamatkan surah.