Bukittinggi, Ambo di siko." Karya 39 Penyair Indonesia. Buku ini juga
diberikan sedikit ulasan oleh Papa Rusli Marzuki Saria, Penyair Senior
Sumatera Barat dan diberi pengantar oleh H. Ismet Amzis, S.H., Walikota
Bukittinggi. Sejumlah penyair lainnya juga membubuhkan endorsement
mereka untuk mempercantik tampilan back kover (kover bagian belakang)
buku ini.
[Info pemesanan hubungi Call Center FAM 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.co m, atau kunjungi website: www.famindonesia.com]
Alhamdulillah, hari ini ISBN Buku Antologi Puisi “Bukittinggi, Ambo di Siko” diterbitkan Perpusnas RI, Nomor ISBN: 978-602-17404-7-7. Dengan demikian, buku ini besok sudah bisa naik cetak. Beberapa puisi dalam buku ini juga dipercantik dengan gambar vinyet karya M. Jujur, seniman Sumatera Barat. Terima kasih atas doa dan dukungan seluruh FAMili, terutama kepada 39 penulis puisi di buku ini.
Berikut nama-nama mereka:
Eko Rahmadianto Hermawan, Soetan Radjo Pamoentjak, Bambang Widiatmoko, Adi Suhara, Moh. Ghufron Cholid, Denni Meilizon, Hutri Yoko, Widia Aslima, Ardhyana Kusuma, Lina Saputri, Ade Ubaidil, Puji Dandelion, Eka Susanti, Steve Agusta, Tri Oktiana, Ariyanto, Baharuddin Iskandar, Dinillah Karisma, Muhammad Abrar, Rizka Habibul Hasnah, Titi Sukarni, Melly Wati, Nenny Makmun, Ridha Sri Wahyuni, Leni Sundari, Rezqie Muhammad Al Fajar, Syelli Cen, Abdul Malik, Fuadi, Fatih El Mumtaz, Gathut Bintarto, Refdinal Muzan, Muhammad Subhan, Wahyu Prihartini, Achmad A. Arifin, Mohammad Isa Gautama, Hasan Asyhari, Nora Yuliani, Meriyan.
Sejumlah Endorsement:
Bukittinggi tampil utuh dalam goresan pena 39 penyair dalam Antologi Puisi Jam Gadang. Keindahan alam, hawa yang sejuk, situs bersejarah, suasana pasar, kehidupan masyarakat, dan tentu Jam Gadang memberi kesan mendalam bagi siapa yang pernah berkunjung. Kesan inilah yang diungkapkan para penulis dan penyair buku ini.
~H. Ismet Amzis, S.H., Wali Kota Bukittinggi
Membaca sajak-sajak facebook di dalam buku ini rasanya melelahkan mata. Tapi ada yang memanggil-manggil untuk membacanya sampai habis. Sampai di mana para penulis sajak menjelajahi dunia kata, dengan sentral puncaknya tentang kota turis Bukittinggi dan Jam Gadang-nya. Sajak-sajak turis, sajak-sajak selintas ketika melihat sesuatu. Rata-rata demikian kedalaman sajak yang ditemukan. Tapi ada juga yang meminta perhatian penuh untuk beberapa sajak.
~Rusli Marzuki Sari, Penyair Senior Sumatera Barat
Ada berapa puisi yang lahir karena imaji, impresi, kenangan, dan rindu pada sebuah kota? Sebaliknya, seberapa jauh kita bisa mengenali lorong malam, kabut dan hujan, bukit dan lembah, kuliner spesifik dan aroma sebuah kota dari sejumlah puisi? Menarik untuk membaca 39 penyair menulis, seratusan puisi yang bersepakat membuku satu sama lainnya, saling membilang menambah, menyulam Bukittinggi dalam puisi. Kata-kata sudah disuratkan, ada yang menyiratkan simpanan makna yang lebih dari sekadar susunan aksara.
~Muhammad Ibrahim Ilyas, Penulis Puisi dan Drama
Sumber :
http://www.famindonesia.com/2013/01/segera-terbit-buku-puisi-bukittinggi.html
ANTOLOGI PUISI KOTA JAM GADANG
"Ambo Di Siko "
Kata Pengantar Dari Sastrawan Senior Sumatera barat
Papa " Rusli Marzuki Saria"
Sajak-sajak Yang Dibaca di Face Book
MEMBACA seratus sembilan belas sajaksajak face book rasanya melelahkan mata. Tapi ada yang memanggil-manggil untuk membacanya sampai habis. Sampai dimana para penulis sajak menjelajahi dunia kata, dengan sentral puncaknya tentang kota turis Bukittinggi dan Jam Gadang-nya.
Bukittinggi adalah kota puisi penulis di tahun-tahun yang panjang.
Sejak 1945 sampai Juli 1961, sukaduka perang kemerdekaan dan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ( PRRI ) yang diproklamirkan bulan Februari 1958.
Para penulis sajaksajak facebook ini berasal dari Malang, Yogyakarta, Jambi, Lamongan, Madura, Banjarmasin, Cilegon, Papua, Pekanbaru, Lampung Tengah, Pinrang, Cilacap, Jakarta, Kalimantan Selatan, Medan, Pasuruan, Solo, Sumenep, disamping Sumatera Barat sendiri seperti Bukittinggi, Padang, dan yang kini sedang bermukim di Hull, Inggris, Pariaman, Sijunjung, Tanjung Pati, Tiku Agam, dan tak ketinggalan Bogor.
Sajaksajak turis, sajaksajak selintas ketika melihat sesuatu. Rata-rata demikian kedalaman sajak yang ditemukan.
Tapi ada juga yang meminta perhatian penuh untuk beberapa sajaksajak yang ditulis oleh
Refdinal Muzan ( Bukittinggi ) seperti :
Ada yang akan tertikam dalam hening
Menyelam lekuk perubahan saksi tak bergeming
Amai-amai berselendang dan baju kurung
Hentak tengkelek mengirama subuh yang lengang
Eko Rahmadianto Hermawan dari Malang menulis sajak " Sianok"
dengan baris-baris begini :
Dalam mimpiku kulihat Da Vinci melukis
Gambaran lekuk pinggang Monalisa dan gemulai merajuk
Dengan jembatan layang di atas medan panjang
Suara awan berkicau laksana burung
Terasa intensitasnya bagus, tidak sekedar menulis sajak, tapi punya persiapan imajinasi.
Bambang Widiatmoko ( Yogyakarta ) menulis "Kwatrin Dinding Kusam ":
Aku menolak untuk kau ajak masuk ke goa Jepang
Karena ada aroma kekejaman dalam sejarah yang kelam
Mungkin ada roh menempel di dinding yang kusam
Sebelum menemukan jalan pulang ke tangan Tuhan
Penulis sajak ini betulbetul siap untuk menulis dengan apa yang ada dalam kepalanya. Memang beda menulis berita ( fakta ) dengan menulis sajak (fiksi ).
Kata dalam fiksi bisa bermain, seperti yang pernah dikerjakan oleh penyair besar kita Chairil Anwar.
Sajak yang ditulis oleh Adi Suhara ( Jambi ) seperti ini :
Aku mencatat nafasmu pada setiap detak jarum jam
tentang orang-orang pasar yang menawarkan senyum di awal pagi
tentang lekuk tubuhmu yang puisi
kau begitu anggun menyeruak fragmen rindu yang kubangun
dalam kecamuk mimpi
(Bukittinggi )
Kelihatannya sederhana, tapi serius. Menyeruak fragmen mimpi !
Orang lama menulis puisi di Padang, yang kini sedang bermukim di Hull, Inggris adalah Mohammad Isa Gautama, menulis puisi 2012 berjudul " Kunanti Kau di Pasar Lereng " seperti baris ini :
Kunanti kau di pasar lereng
Musim apakah ini, aromanya begitu wangi menghantam jantung
iramanya menggetarkan cabang-cabang pohon , di tepi sungai Humber
dan aku hanya menatap angin yang merubuhkan daun
Barisbaris nostalgik ini ditulis penyair majalah " Horison" tahun 1980-an. Kita kutip lagi sajaksajak yang manis ini tentang Bukittinggi :
Jam gadang biasanya diam, biasanya kukuh saja
berdiri seperti sudah berjanji
menanti kekasih
Selama serupa bersumpah tak hiraukan halimun
(Jam Gadang bertanya Kepadaku )
Begitulah saya membaca sajaksajak di facebook dalam "Antologi Puisi Jam Gadang, Ambo Di Siko" ini.
- Rusli Marzuki Saria -
Wisma Warta , 6 Januari 2013
0 komentar