Hening segalas kopi pahit
hening dalam penat
membuat rasa tak menghambat.
Di bangku ini aku selalu berkata umpat
pada lembaran kenangan pekat
Aku meraba kembali katakata sahabat
yang sering kita ceritakan pada kisah hidup
tertawa
menangis.
putus asa
gelisah
kebodohan
kita bingkai bersama lantunan jalanan
Kini aku hanya meraba kenangan itu
menikmati setiap inci kerinduan itu.
Kemana tak kembali padaku saat ini ?
Kenapa hanya tawamu membayang tak berarti ?
Dua ribu tiga bulan sebelas tanggal sebelas
dirimu diam tak acuh pada tetesan air mata
saat itu pilu sembilu mentertawakan kita berdua
perpisahan jua memeluk kita penuh buas
Hening segelas kopi pahit
hening dalam penat
bersama akhir tahun aku mengingat
suara petikan gitarmu sahabat
Pekanbaru;
29Pasar12Lima2011Puluh
(Untuk mengenang 8 tahun almarhum Sahabatku)
jemarijemrimu begitu lentik memainkan dawai malam
mengalunkan nyanyian para perindu romansa
suarasuaramu begitu menusuk pada lembaran kesunyian kelam
menusuk hingga tetesan air mata mengalir penuh rupa
Aku ingin melebur bersamamu pejalan malam
mengiringi setiap langkahmu mencari arti hidup
dibawah betonbeton yang berdiri angkuh
Matamata itu memandang lirih
memandang jauh penuh gundah
tak sedikit pun tenang tak punah
Seutas senyuman mulai memudar licik
menghambakan religi kemunafikan
dalam tenang aku kelam
dalam kelam aku tenang
bersama dawai malam aku berdo'a lantang
beri aku setetes ketenangan untuk para pejalan malam
biar ku tau tingginya langit.
dan
tawa setiap anak jalanan
Berdarah dan berdarah
nyawa tak berharga
mati di tanah sendiri
Salah siapa?
Siapa salah?
Pertanyaan bodoh !
Tangis dan Tangis
Anak tak berbapak
Ibu menjanda
Salah siapa ?
Siapa salah ?
Pertanyaan basi !
Kian tak tau duka
Kian tak tau derita
Kian tak tau neraka
Ah..!
Semunya berjanji
tak putus tragedi
pada tanahku sendiri
Germicik nyanyian anak hujan membuai
membuai angan pada ujung tari
tak sedikit getaran nokta kata memberi
memberi kesyukuran menikmati hari.
Basah.
Dingin.
Tiap ku bersuara
Basah.
Dingin.
Tiap ku merindu
Membias lentera wajah di benakku
wajah tiap inci percikan hujan.
Bulan Januari memuji pertemuan
kenangan itu kini tetap di pangkuan.
Desember ini aku menatapmu
Waktu hampir dua tahun memberi cerita
ceritacerita tiap rintik rinai cinta
Desember ini aku berharap padamu
Sekilas segalanya begitu terharu pada tiap detik
Sekilas segalanya begitu mempesona germicik
Di bawah gerimis Januari itu penyatuan tak pernah lupa
saling memberikan senyum penuh pesona
Kau aku tak lupa itu kita sama menikmati rinai hujan
saling menyapa bersama diatas dinginnya jalanan
bercerita tiap detak pertemuan yang lama tak bersua
Kini kembali kita bersama mengingat nyanyian gerimis
Di kota ini kita membuka rasa
Di kota ini kita sehati
Di kota ini kita membagi mimpi
Di bawah gerimis bulan Desember, ku tulis
untukmu rinai gerimis Januari.
Dan.
Aku menunggu terus Januari bersama kisahmu
/
Tertatih membawa keringat membasah
berjalan terus tanpa hiraukan kerikil tajam
berbaju kusam membalut tubuh lusuh
memilih apa yang bisa perut diam
di sisasisa pembuangan
Sekian kali kau lewat di mataku
Sekian kali pula aku merasakan hidupmu
Dari tiap langkahmu memberikanku hidup
dari tiap tanganmu mengobrak abrik sampah
Aku hidup.
Aku makan.
Semilir senyum terus itu aku tunggu di bibirmu
membuatku tak melupakan matamu
dalam anganku selalu bersamamu
bersama mengarungi pahitnya penderitaanmu
Aneh mengerumuni tanya pikiran kepalaku
tak mengerti ini hidup
Tapi.
Kesabaranmu menguatkan hatiku.
Inilah jalanmu.
Tetap bersyukur di hatimu
Di sisi itu aku membunuh keanehan kepalaku
Ya,tak ada yang aneh dalam lautan hidup
selalu tenang dalam perjalananmu
//
Pembuangan sampah ladang gandum yang ramah
biarpun dengungan lalat merayumu
namun itu kenikmatanmu untuk hidup
Pembuangan sampah rumah rezekimu
biarpun ulat belatung menari indah di matamu
namun kehalalan selalu tak jauh darimu.
///
Istri
Anak.
Menanti senyummu
Menanti belaianmu
Di saat kelambu senja membalut matamu.
Aku pun menantikanmu.
menantikan ceritamu
karna disitu aku menemukan arti hidup.
Membentang perjuangan diatas semangatu
peluru membaur penuh ganas diatas tubuhmu
tak gentar sedikit jiwajiwa dengan bambu
membara berapi mengibarkan negaramu
Tak penting nyawa terlepas di badan.
Tak penting keluarga tertinggal tepian.
Tak penting segala berhancuran
Satu kata yang selulu abadi. "Merdeka"
//
Kini tubuhmu terbaring di kardus usang
diam membisu tepian kumuh gersang.
Kini diatas kardus usang di sore itu
menikmati hasilhasil perjuanganmu dulu.
Kini jejakmu mulai terhapus keangkuhan
tak terperhatikan dalam pengasingan.
Begitukah balasan ?
Begitukah kemerdekaan ?
Begitukah harga perjuanganmu ?
Pertanyan pedih di hatimu.
Jejakjejakmu terkubur kegalauan
terhapus debu kehidupan.
Tersingkirkan dalam ruang hitam
dilupakan kemeredekan
///
Perjuangan itu terus berkobar ditubuhmu
mempertahakan kehidupanmu.
Tak sedikit keringat menguyur tubuhmu.
Di atas kuburan tua itu kau tersenyum
memberikan kabar pada se-perjuanganmu
"Kau telah merdeka kawan,aku masih berjuang"
Senyum menawanmu membias ketertarikan
memberi segala kenikmatan pada ke desakan
berlagak penolong bermurah hati
berapa selalu dikeluarkan tenang menanti
Tiap pagi dirimu datang membawa tagihan
terbayar senyumanmu terbuka tanpa basa basi
muram wajahmu tak terbayar tanpa kasihan
segala apa yang ada diisap tanpa ampun.
Gelarmu semakin semarak di pasar
Lintah darat.
Julajula tembak.
Rentenir.
kian ganas memakan untung berlipat.
Sekian kali juga dapat pelajaran
lari hutang semua yang dipinjamkan
memburuk wajahmu hitam amarah
namun keuntunganmu tak punah.
Riba tak peduli itu dosa bagimu
uang dan bunga itu tawamu
merampas isi segala kesusahan
makan memakan itu pendirian
Amarah sumpah serapah itu gurauan
air mata tak dipedulikan yang bersusah.
Kau beri modal
kau makan laba
kau siksa tangisan
kau tampar kegelisahan
disudut itu kauberkerja
Ah..
Lintah darat yang begitu manis
menghisap tanpa ampun.
Kemanakemana hari berputar sekalis wajah hambar
kian membuka kesunyian tepian dekap asing
kaulesu suara dikerongkongan pudar
matamata kaumerah menyalah lelah tenang
Jangan ganggu aku..!!
Jangan tipu aku..!!
Jangan daya aku..!!
Itu sulit kumendiamkan dungu.
Tarikan nafasmu mengubah
semangatmu menyala sudah
tiang itu kauterus bersuara meludah
tak peduli aku mati dalam syairmu punah
Keringat dari poripori meledak panas
tak kauhiraukan telingatelinga yang haus
ini tak dapat kutahan dari kelaparanmu membius
sekian dan sekian kaujual murah syairmu menganas
Kaubilang hanya untuk hidup.Sajakmu itu ?
Kau bilang hanya melepas diam.Syairmu itu ?
Kau bilang hanya melepas duka.Puisimu itu ?
Aku kau jawab
Untuk membela periuk nasi.
Aku kau jawab
Untuk sewa kardus tidur.
Aku kau jawab.Terakhir
Untuk senja diujung mimpi.
Jalanan.
Bis kota.
Terminal.
Rumah kumuh
Di bawah jembatan
Emperan toko.
Aku kau bersajak
Sajak.
puisi.
Syair
Aku kau selalu hidup.
Sekilas wajahmu bermain diatas reranting itu
memainkan alunan kerinduan para pembantu
tak lepas aku menikmati diatas pelaminan biru
melepas segala desah suaramu
Tenang jiwamu mengalir di debur ombak jalanan
tak sedikit panas itu membuatmu membatin
kulit hitammu seakan memberikan harapan
tak ber-bapak itu terasa tiap langkahmu yakin
yakin bertahan disetiap megahnya gedunggedung beton
Di tanganmu mengalir kekuatan untuk kemenangan hari ini
kerja tak peduli kadang itu nyawa taruhan.Tak peduli !
Nyanyianmu terus menghibur tatapan kehinan
namun nyanyianmu selalu tersimpan kekuatan batin.
Untuk selalu berjuang di jalanan.
Untuk senja ujung senja penuh harapan
//
Malam bercumbu bersama dinginnya mata merahmu
merebahkan penatmu diatas kardus bekas.
Tak ber-ibu itu terasa kadang di batinmu
namun dirimu selalu bahagia dimimpi termanis
Kini merayu matamu pada alam mimpi
mengharapkan suasana pada kerinduan.
Di sana dirimu ingin bapak ibu.
di alam mimpi penuh kebahagianmu.
Di bawah jembatan yang angkuh
semuanya mimpi dirimu tertulis
Tangis mengalir tenang ujung hutan
berserak keraguan buluh bambu
terpikirkan tentang norma ragu
mati rasa kelabu jingga ungu
kian dirasa detang jantung melemah
datang dan pergi pelangi kata
bercumbu keindahan debu pepohonan mati
begitu burung memberi kabar pada alangalang
Hitam bening aliran bertuba
bangkai berpesta lalat menggema
tak ada tarian warna sisik dalam telaga
begitu ikan memberi kabar pada tepian kali
Kering retak ujung kehausan insan
menggeliat tubuh kaku diam
vital merintih humus hambar keras
tiap menancap beton ujung kering
mati tak berlendir tubuh kering
begitu cacing memberi kabar pada tanah seberang.
Mata kaku tancap tanah pusaka
tertawa puas kakikaki baru
terbuang jauh badan asli kenangan lama
tarian murni kaku sendiri di ranjang usang
lingkaran malam hening tak bermanfaat
tarian asing tiap ujung mata mengiurkan
lama dan lama semua hilang tak berbekas
begitu tarian memberi kabar pada lengaklengok alam
//
Raja tinggal rintihan tahta
Penghulu tak tenang bahasa ibu tersingkir
Kian kelam dan mati
alam murka tangisan tawa
sumpah serapah bersenda gurau nyawa
mayat cacing engan makan
terasa itu perusak lukaluka serakah
Mengalir air hancur duka rumah desa
sawah mati kuning tak ber-beras
tinggal kelaparan tiap isi perut
tani tangis tiap dalam gubuk
tawa serakah gedunggedung megah