Aku selalu dungu dengan cinta
tak terjamah segala kampung romunsa
jauh begitu jauh.
Aku selalu merasakan cinta
lekat di jiwa penuh duka
dekat begitu dekat.
Titian malam aku coba memahami cinta
bersama alunan nyanyian para pejalan malam
tiap suara hanya cinta
hanya suara dan terus suara
Pekanbaru; 31Pasar10Lima2011
Membias senyum ujung pasar
terbawa keindahan cinta
aku diam untuk samar
begitu resah jiwa menyuka
Berharap tak pernah mati
selalu membuka keyakinan
aku tenang bersama sepi
merindu kehampaan batin
walauku tau cinta sulit dinikmati.
Ujung tenang kumulai merasa
merasakan begitu jauh cinta
namun aku selalu untuk memahami cinta
Berterbangan mimpi jauh angan
senyum lamunan memulai keinginan
menggapai keangkuhan hati kudian
tetap kenyataan dirasa emperan kalian
Ruang tiga kali empat tersusun rapi
merapikan relung jiwa menerima sepi.
Bapak.Menerapkan perjuangan diri
Ibu.Mendongengkan alunan peri
Anak.Terlena kata kedua hati
Mencoba terus membersihkan kesabaran hati
dari tiap debu kebosanan dengki.
Terima segala ada.
Terima segala tak sia-sia.
Terima segala kenyataan.
Do'a terus terucap
bersyukur terima takdir.
Keluarga emperan kota tersenyum bahagia.
Tetes demi tetes kenagan membasahi tubuh
meresap masuk kulit hitam
merasakan dingin tiap sudut gundah
Jemari mulai memaknai tiap tetesan
Selalu cerita membekas tiap malam
meningalkan embun kerinduan diam
tak sedikit lelah kadang mendendam
harapan selalu jadi titian senyum
Tetes demi tetes dirasa untuk ungkapan
pelajaran diri selalu memuaskan
walau berat menerima goresan kenangan
disitu semua dimulai pencarian untuk cinta
Kelam menyulam angan lurus tepian jalan
rintik hujan begitu manis menyentuh tubuh
membuka tabir kerinduan angan.
Angan pada setiap menit kehidupan
mengores cerita lama pada catatan musibah
Membias keterasingan kini ujung luka
luka pemberian kata ujung bibir kesetiaan
Butiran rintik hujan membuka wajah
wajah manis telah hilang ditanam tanah merah
meninggalkan duka dalam ujung lidah
Pada setiap tetesan rintik hujan disana ada gelisah
Setiap bernafas.
Setiap memandang.
Setiap melangkah.
Terukir senyum kebahagian pada kenangan lama
Aku bukan penulis
aku hanya seongok daging terbuang.
Terbuang kebisuan pengemis
Aku bukan penulis
aku hanya debu jalanan pengamen.
Pengamen nyanyian anarkis
Aku bukan penulis
aku hanya peluh anak jalanan.
Anak jalan yang terbuang sadis
Aku bukan penulis
aku hanya goresan usang kupu-kupu malam.
Kupu-kupu malam penikmati goresan luka tangis
Aku bukan penulis
aku hanya anak putus sekolah.
Anak yang tak berilmu cerpenis
Aku tangantangan yang tak bisa diam
berkerja tiap siang membuka pagi
menyentuh tiap tetesan keringat diam
Aku tangantangan selalu ingin memberi
memberi kepedihan hari yang selalu dilalui
tak kecuali pada ranting kering ujung diri
Aku tangantangan benci menampung
hina segala hanya bisa meminta kasihan
bukan itu ingin hidup walau tanganku hilang
Aku tangantangan masih bernyawa
hadirku selalu mensyukuri
segala pemberian Sang Raja Manusia
Meresap malam tubuh dingin
berjalan kaki gontai basah
tikus sibuk makan
sisa mata aku pedih
membawa otak perbuatan
lorong pasar jalan sampah berjalan.
Tajam begitu serakah hati
memilih keinginan tak menanti
aku penanti rapuh hati
jauh menjauh cinta abadi
rokok dahaga nafsu berhenti
terasing dan terasing untuk ini.
Pergi jauh kau diri
buang jauh diri mereka perapi
dosa sekarang balut aku
pengampunan jauh aku.
Kawan
Ini perjalanan kita
segala keinginan kita do'a
namun apalah daya
takdir jua berkata.
Suara tangis menusuk malam dingin
rintihan nafas terus mendendam.
Aku mati...
Tidak kau hidup...
Berkecamuk jiwa laki ujung dendam
melawan keterasingan derita malam
Diam kau...
Aku tak akan diam...
Menyibak segala kutukan diri
menghantam jeruji keangkuhan mati
Tak ada rasa kepedulian diri menyiksa
terus menahan mengigil keinginan dosa
Aku tak ingin...
Kau selalu ingin...
Membayang kenikmatan sesaat terus mendesak
tangisan pecah membasahi dinding terkutuk
Semua kelam.
Semua diam
Laki mati jahanam.
Setan narkoba tertawa puas tak bungkam.
Cerita membuka tabur pemahaman hati
membuka ilmu alam penuh kata
hamparan jiwa meresap tepian diri
begitu kecil aku di alam semesta.
Keangkuhan merusak pemandangan murni
membakar paru-paru kesejukan batin
mencemari air bening kehidupan mati
Adat lama terbuang sayang pengasingan
sejarah asal nyanyian burung pagi sunyi
Cerita membuka pemahaman pilu
menutup ilmu alam penuh kata
hamparan jiwa mati dungu
begitu besar aku rindu alam dulu
Aku berkerja berbaju kuning
Bersenandung keringat titian siang
meresap impian siang pemberi tenang
deretan tenaga terus bertahan gamang
Aku berkerja berbaju kuning.
Keluar masuk segenap titipan.
Keluar masuk segenap kepercayan
terus senyuman mewarnai titipan
terus terimakasih mewarnai kepercayaan.
Aku berkerja berbaju kuning
Menatap berlari depan pasar
hilir mudik melepas bantuan
upah juga menjadi dasar
hanya seribu.
Aku berkerja berbaju kuning
Kadang kepercayan tak selalu datang
ditakuti kepercayaan hilang
namun harapan terus membantu tenang
Aku berkerja berbaju kuning
Terus berusaha menikmati hari
Ini aku berkerja berbaju kuning
untuk terus berkerja
demi titian hidup.
Dan
Aku lah si tukang parkir
Kau pelacur ?
Bukan.Aku perek.
Kau lonte ?
Bukan.Aku Astaba.
Kau ambai-ambai ?
Bukan.Aku kupu-kupu malam
Kau perempuan malam ?
Bukan.Aku sampah masyarakat.
Kau manusia ?
Ya..Aku manusia seperti kalian.
Pelacur.
Lonte.
Ambai-ambai.
Perempuan malam.
Kupu-kupu malam.
Aku juga manusia yang punya hati nurani.
Sejenak tubuh mungil merasakan tepian angin
melepaskan rindu diam bisu ujung lidah
menatap mata basah gundah kenyataan
bersama mata-mata lain menghitung hari tersisih.
Sejenak tangan meraba kecupan perempuan
perempuan bersama dulu kasih sayang
suara panggilan berlari kecil bayang.Ibukah itu ..???
berpeluk menggapai bayang hilang.Dimanakah Ibu...???
Sejenak tubuh tersungkur tepian jalan
bergetar tangis kutukan
terdampar jauh kota tepian.
Sejenak tubuh mungil merasakan dunia jalanan
begitu dan begitu kini mata-mata itu bertaburan
bersama terik matahari jalanan.
Pekanbaru; 8 September 2011
Berlabuh seutas kata kerja
berkerja bertanggung jawab suka.
Lelah terbuai seutas senyum ujung rumah
dua nyawa harapan serpihan kelanjutan sumpah.
Kadang lajur kebosanan menyergap benak.
menusuk jiwa terasa kepedihan kanak.
Tak peduli itu tawa rintihan duka
anak peduli dalam keluarga
istri isyarat kekokohan jiwa.
Tenang selalu giat wajah untuk induk beras
Tenang hamparan pelukan anak beras
Senyum sambutan hangat diharap
pada senja pengantar pulang dipintu rumah
Kasih...
Mari kita persembahkan cinta pada suci
biar tau sedalam mana sayang terpatri
halangan hanya permainan dengki
keyakinan membuat cinta tak mati
Kasih...
Sandarkan hati pada ketulusan
biar kita memahami arti cinta.
Kasih...
Hapuslah butir-butir bening matamu
selalu membasah di pipimu.
Yakinlah
Kita selalu untuk bersama.
Aku selalu tertatih siang.
Aku selalu menyepi malam.
Siangku perjuangan menyambut petang.
Malamku merenung titian diam.
Serpihan hati berharap.
Jiwa menyambut kenyataan.
Hatiku bertahan hidup.
Perih membuka gelisah jiwa pujian.
Mata perih tenang raga
Raga kumal berdaki
Tiap memandang itu duka.
Namun inilah daki takdir suci.
Hidup.
Waktu.
Jalani segala sulit untuk menang.
Menanti lain waktu lain dunia.
Itu aku yakin.