Biasaku pulang kampung disambut dinginnya gunung
Biasaku pulang kampung disambut pasukan hijau
Biasaku pulang kampung disambut nyanyian burung
Biasaku pulang kampung disambut musik aliran air tenang.
Kini panas gunung
Kini pasukan tembok.
Kini nyanyian rintihan
Kini musik kematian.
Biasaku mendengar panen beribu
Biasaku mendengar cerita legenda dulu
Biasaku mendengar suara nyanyain adat suku
Biasaku mendengar pesta para penghulu.
Kini panen mati layu
Kini legenda kuno bisu
Kini adat bungkam pilu
Kini penghulu dungu.
Biasaku bersama pituah ninik mamak
Biasaku bersama bimbingan keponakan
Biasaku bersama pangkuan anak
Pituah sunyi
Keponakan pergi
Anak hilang pengati
Rumah adat berhantu
Rumah adat tak tentu
Rasa
Periksa
Malu
Sopan.
Empat kata sakti
Kini dirasa perlahan mati.
Hilang alam
Hilang kebiasaan
Hilang kebersaman
Hilang pusaka
Hilang tatakrama.
Apa kaumerasa ?
Apa kaulupa ?
Apa kaubercerai ?
Apa kaujual ?
Apa kauasing ?
Ah...!!!
Kini ku pulang disambut keterasingan.
Kini ku pulang disambut budaya asing.
Jalan ini
Tidur tak pulas kami
alas kardus saksi
emperan toko bermimpi
Jalan ini
Tak nampak berdasi
hanya caci maki
lari menepi
Jalan ini
Badan berdaki
tergusur dengki
maut mendekati
perlahan mati
Jalan ini
Suara bungkam sepi
dingin selalu bersemi
habis segala alami
Jalan ini
Mata menatap negri
jadi budak rumah sendiri
tergiur asing membeli
jauh sekali dari janji
Jalan ini
Semua paksa disukai
semua aku benci.
Apalah daya badan tak mati
terus menikmati tawa para pendatang dengki
Jalan ini
Aku asli tanah ini
perlahan akhirnya terbunuh jua di jalanan ini
Hijau makan hilang
dedaunan hilang.
Nyanyian burung hilang.
Air mengalir hilang
ikan mati terbentang.
Anyir menyerang
gatalgatal meradang.
Tertawa puas meransang
Tangisan terasa dibawah.
Hilang pusaka bertuan
punah luntur ketenangan.
Tinggal pemandangan tembok tepi sungai
air mengalir hitam penuh tebengkalai.
Alam asli malang
sumpah serapah para bintang
merayu bencana menghantam petang
nyawa melayang,mayat berkapang.
Ulah siapa ?
Tangan siapa ?
Tangisan siapa ?
Mayat siapa ?
Tiap suara menyalahkan.
Tiap tangan memusnahkan.
Tiap air mata penyesalan.
Tiap duka mengalir badan.
Ah..!
Itu sesaat.
Renungan tinggal renungan baka
Untuk alam Indonesia kita
Tua tak sadar
Menikmati keangkuhan sadar
bercumbu bersama nyanyian dunia
melupa anak cucu bersama keluarga
bersenandung kutukan duharka
Tua tak sadar
Bermain umur berbau tanah
bergaya pada malam penuh sumpah
tetap dunia berpesta putih darah
tak peduli rasa hampir punah.
Tua tak sadar
Setan tertawa,ini surga
Malaikat kiri kanan di kata dusta
dosa nanti jadi bahan perhitungan
jelas puas apa yang dirasa jasat batin
Tua tak sadar
Mabuk indah pelukan api membara
membakar jutaan zina ingin selalu dirasa
tobat hanya mainan kata jelmaan nista
begelut tetap desah kenikmatan nafsu purba.
Tua tak sadar
Agama hanya ocehan lama
dah tau itu tak tergoda
Tua tak sadar
Dunia lama tak mati
tetap menghirup udara kesenangan dunia.
Tua tak sadar
Saat sakit datang menyapa
disitu tau umur tua
Tua tak sadar
Maut mencabut jiwa
disitu tau dimana keluarga
disitu tau dosa
disitu pertobatan tak menyapa
Tua tak sadar
tetap menari tak sadar
Seperti biasa mereka datang
Malam.
Sepi.
Membawa berbagai ikatan pecundang
Seperti biasa mereka datang.
Rintihan.
Lolongan.
Mencabik-cabik tuh tinggal tulang.
Seperti biasa mereka datang
Umpatan.
Caci maki.
Membasahi kulit dingin meradang
Seperti biasa mereka datang
Kenangan.
Kerinduan.
Mengerumuni otak pikiran usang.
Seperti biasa mereka datang
Istri.
Anak.
Menusuk hati penyesalan tak tenang.
Seperti biasa mereka datang
Bermungka masam.
Bermungka buram.
Nafas terasa pahit menghisap udara menentang.
Seperti biasa mereka datang
mencampakan sinar petang
memasukan siang kedalam malam.
Ah..!
Aku tetap terbuang
terbuang jauh bersama pecundang
Seperti biasa mereka datang.
Aku lah si tua adat budaya dicampakan kenangan
dimakan kebudayaan asing.
Nasib
Hari biasa ia datang seperti biasa
penuh senyum sejuta cerita
begitu selaluku tunggu ujung senja
Nasib
Si tua lama bagiku itu muda
kulit mengkerut seperti jalan kehidupan
membentuk pola dunia likaliku
begitu gambaran indah di langit biru
Nasib
Mata merah tak panas letih menentang api
perapian tempat pembakaran dengki
hangus hitam kelam hidup yang dijalani.
Menguning jingga pada penutupan siang merinai
tangis hiburan naluri terbias mimpi.
Nasib
Hari ini ia datang seperti biasa
penuh sejuta cerita
begitu selalu datang dan pergi.
Di ujung senja aku dan nasib menari
menari indah untuk selalu mensyukuri
segala apa yang didapat dalam hidup ini
18Pasar11Lima2011Puluh
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Peluru membabi buta
Darah beruba
Nyawa berbakti
Demi satu kemenangan duka
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Mengibar bendera
Menghormati segala puji
Demi pembuktian negara
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Serentak suara berbakti nusa
Kemenangan proklamasi
Demi bernama nusantara
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Tarian bambu kuning berbangsa
Mengusir penjajah durhaka mati
Demi kebesaran pusaka
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Tinggal kuburan dikenang pemuda
Pembuka kenangan pahlawan tersemati
Demi senyman para penerus bangsa
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Kini semuanya peduli lupa
Lupa kebanyakan tak berbakti
Hanya tau atau lupa ini merdeka.
Merdeka...!!!
Mati...!!!
Merdeka...!!!
Suara tinggal suara
Semangat tak dilupa diri
Kami pemuda penerus bangsa
Selalu mengenangmu para pejuang bangsa
11112011
Menari-nari indah sinar cahaya kuning kebiruan
meliuk-liuk penuh makna dalam artian.
Menatap menerpa wajah manis penuh harapan
tarian indah cahaya kuning kebiruan
senyum manis pada penantian.
Menatap jauh kerinduan ujung cahaya kebiruan
membuka kata para penyair muda tepian
membaca syair kejujuran pada cinta harapan
ujung pasar penuh kerinduan.
Membias sekilas wajah pria cahaya kuning kebiruan
disana hati bertanya penuh kesucian
Merah pipi gadis manis
bersama merah bara cahaya kuning kebiruan
mewarnai hati tak diam lidah cumbu kasih
Gadis penunggu api
gadis manis penuh harapan.
Senyum indah pada cahaya kuning kebiruan
senyum manis penuh cinta
Di ujung pena itu kumerasakan darah itu mengalir
darah yang begitu sunyi
namun darah itu begitu deras mengalir
membiusku dalam kegelisahan takdir
Tanganku tak kuasa untuk menahan gejolak
gejolak kutukan para pejalan malam
Aku kaku ruang gelap
darah itu terus menghujam
mengempaskan segenap jiwa gelap
Tiapku menahan
tiap itu darah mengempaskan jiwaku
Aku lupa,aku bukan penulis
Aku lupa,aku bukan cerpenis
Aku lupa,darah itu yang memvonis
selalu untuk menulis
Wajah-wajahmu berterbangan angan
menyudutkan jiwa kelam penantian
menghujam keserakahan jiwa kebosanan.
Jenuh datang membawa secarik asa
mengobarkan noktah aksara penitahan.
Jangan ganggu aku duka
aku ingin semuanya seperti kaca
nampak segala apa yang berkaca
kaca tak pernah berbohong nyata.
Jeritan pendosa tak pernah bungkam
membawa kegamangan para pendendam.
Aku coba memahami aksara tua
biar tau sedalam mana derita.
Aku coba menulis aksara cinta
tanganku diam seribu kata.
Aku hanya ingin bercinta.
bercinta bersama gadis-gadis noktah aksara
itu aku ingin dari semua dunia
melepas segala nafsu pusaka padamu dara.
Gemuruh hari badai lautan
terombang ambing ketulusan
sendiri bunda di atas sampan ganas lautan
menuju tanah seberang kehidupan
Teriak tangis nafas bergejolak
sakit mendayu diri menahan siksa
bertahan tiang harapan anak
mengantarkan benih kehidupan jiwa
Tangis terdengar penghibur jiwa
genggam tangan kuat batin
Lupa sakit.
Lupa maut.
Demi kelahiran benih cinta.
Aku pun lahir.