Di tikar tua usang peninggalan
terbaring anak laki sendiri di tinggal
memandang atap rumah tua yang atap bolong
tatapan mata jauh ke seberang rumah yang penuh canda tawa
wajah itu seperti penuh keinginan yang mendasar
anak laki itu bersuara lirih pada
seperti semua ingin di minta pada ujung malam
"Aku ingin kau hadir malam ini...?".
Itu yang keluar dari bibir hitam peninggalan asap rokok.
Dari saku tua dia mengambil dopet tua loreng
uang lima ribu terselip lusu di dompet itu
tapi tatapan bukan ke uang itu
tapi pada foto sepasang kekasih tersenyum penuh pengharapan
"Wajah ku dan wajah mu,ingin ku bersama mu".
Suara berat itu kembali keluar dari bibir hitam itu
air mata kelakian seperti terpancing ke haruan
jatuh menetes pada wajah poto usang itu
seperti membasahi ketulusan yang selalu di jaga
"Kita berbeda sungguh,".
Kembli suara itu keluar bersama tetesan air mata kelakian
jam dinding mengejutakan lamunan dalam bayang kecengengan
waktu terus berputar tak dapat di hentikan
"Sanggupkah kau hidup bersama ku kelak".
Bukan suara lagi yang keluar dari bibir hitam itu
tapi suara hati yang penuh kerinduan yang berkata.
Coba di pejamkan mata merah basah itu,
tapi ketakutan menghalangi mata itu tertutup,
ketakutan pada keraguan hati pada perasaan kelakian.
"Aku hanya tukang pakir,apa orang tua mu menerima ku...?".
Suara itu menuju ruang tempat berbicara di sebuah warung tua
Anak laki itu akhirnya terbuai juga dengan kantuk
tertidur dengan sejuta harapan pada penantian keyakinan,
Bersama lilin penarang di rumah tua yang apinya pun redup.
Anak laki terbaring di rumah tua
bersama bantal selimut tua penuh harapan.
Selasa, 08 Februari 2011 22:26
0 komentar