Mengambil karya orang lain,sama saja menipu diri sendiri

Protected by Copyscape DMCA Copyright Protection

Baju Pantun " Daun Sirih " Production "

Baju Pantun " Daun Sirih " Production "
harga Rp.110 ribu ( sudah termasuk ongkos kirim ) boleh pesan satu baju . DO 3 hari sampai ke alamat pemesan. jenis bahan cotton combed 30S kain cukup tebal. ada lengan pendek dan ada lengan panjang, all size ( semua ukuran ada ) , tersedia warna dasar baju putih, hitam dan kuning. cara pemesanan bisa melalui inbox Ari Ryan Pasalimapuluh atau kontak ke nomer 081275186437

Antologi puisi REQUEIM BUAT GAZA

Antologi puisi  REQUEIM BUAT GAZA
Telah terbit Antologi Puisi " REQUIEM BUAT GAZA " karya Gempita Biostory Grup ( Media Jejaring Sosial / Fb ) Tahun 2013. Judul : Antologi REQUEIM BUAT GAZA 31 PENYAIR - 182 Halaman - Pracetak : KOr@nMEdan - Cetak : GEMPITA BIOSTORY INDI - Edisi Tahun 2013. Bila rekan-rekan ingin berpastisipasi dan sekaligus memilikinya, silahkan menghubungi kami di inbox. Terimakasih 30 Maret 2013

BUKU ANTOLOGI PUISI CARTA FARFALLA penerbit ; TUAS MEDIA

BUKU ANTOLOGI PUISI CARTA FARFALLA penerbit ; TUAS MEDIA
CARTA FARFALLA BLUE (Jejak Pelangi Aksara, 2012) Penerbit ; Tuas Media Banjarmasin Tebal ; 155 halaman ISBN : 976-602-7514-12-6 Editor ; Pidrian Syaikhal harga ; Rp. 25.000,- (belum termasuk ongkir)

Antologi puisi " Bukittinggi,Ambo di siko ( 39 Penyair Nusantara )

Antologi puisi " Bukittinggi,Ambo di siko ( 39 Penyair Nusantara )
Antologi puisi " Bukittinggi,Ambo di siko ( 39 Penyair Nusantara ) Katalog Dalam terbitan ( KDT ) Bukittinggi,Ambo di siko Pare, Penerbit FAM Publishing xvii+ 154 Halaman ISBN: 978-602-17404-7-7 Cetakan 1,Februari 2013 Penulis : 39 penyair nusantara Harga Rp 41.000 ( belum termasuk ongkos kirim) cara pemesanan,bisa melalui inbox fb saya atau melalui penerbit FAM,call centre : 081259821511

DESA RANGKAT

DESA RANGKAT
DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

Blogger templates

MAP 2D


Ariyanto. Diberdayakan oleh Blogger.

Kau Aku

Kamis, 30 Juni 2011 0 komentar

Kau lelaki.
bukan lelaki.
aku orang di buang.
berulat pecundang.

Kau cinta.
bukan cinta.
aku hati hitam busuk.
bau mematikan tusuk.

Kau pengembara.
iya, pengembara.
aku pengembara malam.
malam dingin suram.

Kau pasar.
iya, pasar.
aku anak pasar hidup.
hidup bersama gila hidup.

Kau dungu.
bukan dungu.
aku dungu melawan.
melawan kebodohan.

Kau mati.
bukan mati.
aku hidup kepahitan.
kepahitan tetap bertahan.

Kau penipu.
iya penipu.
aku penipu untuk awam.
awam ingin tau alam.

Kau sejarah.
iya sejarah.
aku sejarah dalam adat.
adat hidup penuh padat.

Kau haus.
iya, haus.
aku haus tarian duka.
duka pemberian luka.

Kau lupa.
iya, lupa.
aku lupa penuh ingin tau.
ingin tau dalam pilu.

Lelaki.
Cinta.
Pengembara.
Pasar.
Dungu.
Mati.
Penipu.
Sejarah.
Haus.
Lupa.
Itu duniaku....!!!
Itu aku selalu hidup...!!!



Laki Buruh Bangunan

Selasa, 28 Juni 2011 0 komentar

Detak jantung siang,itu panas.
beramburan raga mencari duka.
setengah itu lautan berangan tuntas.
jauh di seberang ibu ratapan pantas.

Sekian dulu peluh,untuk perjuangan
nafas naik turun suara semen di aduk.
otot terus mengambang perih ingin.
bapak disini untuk anak berpeluh.

Tetesan peluh bergema jatuh lantai atas.
membentuk bercak kehidupan dulu.
tertawa istri pelukan besama anak.
makan bersama meja keluarga.
cerita lama pudar,
terbakar kesombongan hidup.

Tangisan anak hapus senyum.
istri merayu cerai dekat.
melepuh kebahagian malam
pulang kosong sendiri.
tak ada lagi apa senyum.istri anak.

itu rayu pengoda ke putus asaan.
ini hidup terus berjalan.
si laki terus berjuang.
trik matahari.
Semen.
Pasir.
Kerikil..
Besi angker.
keluarga kini di rasa.
panas matahari pemberi arti



Untuk kawan ku :
Ku tulis sepucuk surat ini untuk mu,di malam tak pernah ku nikamati mimipi.
Segala ke gelisahan ku,selalu mengalahkan kantuk pintu mimipi.

Hari ini,di malam ini.Ku ingin bercerita pada mu.Tentang impian ku,ingin menjadi kuda putih yang selalu berlari kehidupan ini.Seperti kuda putih dulu yang ku kenal dari sebuah buku yang kau pinjam kan dulu.

Kuda putih itu yang membuat ku selalu kuat berjuang kehidupan sekarang yang ku jalani.Kuda putih yang melompati pagar berduri pembatas kota.Walau luka berdarah mengoyak kulit perutnya di iris pagar berduri,si kuda terus berlari kencang tampa peduli luka darah mengangga,suara ringkan nya memecah segala jiwa terasing."Aku ingin hidup seribu tahun lamanya".

"Aku ingin hidup seribu tahun".Itu kata yang selalu ku ukir di hati yang mulai pudar warna,menjadi tenaga yang selalu ku yakin untuk hidup."Hidup untuk Hidup".

"Hidup seribu tahun,tak mungkin itu?".Selalu berkata keraguan hati jiwa ku kawan.N'tah kenapa virus itu selalu menyerang ku?".Namun sewaktu aku terserang virus yang hampir mematikan kiwa ku,kuda putih itu datang di pandangan ku.
Di jalanan...
Di mata anak jalanan...
Di pasar-pasar...
Di mata pedagang...
Di emperan...
Di para pengemis...
Di bawah jembatan...
Di mata pengulung...
Di pelabuhan...
Di mata buruh...
Di rumah kumuh...
Kuda putih selalu hadir di situ,yang selalu bersuara untuk selalu berjuang hidup.Itu yang membuat segala virus yang mematikan di obati suara tegar kuda putih.

Kawan ku :
Di malam penuh pikiran yang selalu merogoti otak ku,aku mendapati sedikit celah dari makna kata."Aku ingin hidup seribu taun".Di celah kecil itu segala ku pahami,tentang :"Aku ingin hidup seribu tahun lagi".Ya itu tulisan yang hidup seribu tahun atau mungkin sampai ujung waktu bumi ini,walau raga jasad terkubur di tanah merah.

Kawan ku :
Aku sadar dan tau diri dengan kekurangan tulisan yang selalu ku tulis.Ke kurangan kita yang tak pernah duduk di dalam kelas yang mengajari kita tentang tulisan.

Awam itu gelar yang ku dapati dari alam ini,bukan sarjana atau profesor yang ku dapati.Aku tetap bersyukur  kawan.Alam jadi guru ku untuk menulis.Ya,seperti kuda putih yang hidup di setiap lorong kota.

Satu pesan yang ku dapati dari kuda putih itu kawan :
"Tulislah apa yang ingin kau tulis.
Tulislah dengan ke awaman mu.
Itu kejujuran mu.
Jangan takut suara yang lain itu.
Itu hanya suara pengoda untuk kita di jatuhkan.
Jalan terus dan yakin kita bisa mengapai impian".

Kawan itu sedikit cerita tentang ku dan tentang kuda putih.Aku meminta ma'af sebesar-besarnya atas tulisan ku ini,yang membuat mu munkin kurang enak n kurang bagus.Ini lah tulisan dari tangan awam.
Sekian dan terimaksih
Dari sahabat mu
Penulis awam pejalan malam.

Senin, 20 Juni 2011 17:58 Pekanbaru



Aku lupa itu segala ada.
segala kalbu bermain duka.

Anak isak tangis untuk apa
bapak suka terbaring luka.

Ibu tangis luka negeri orang
hukum pancung di terima tak senang.

Mayat menjerit ingin pulang
suara hanya diam janji datang.

Siksaan luka dirasa
pulang itu dibawa.

Begini visa itu harus dihargai
berharga lupa ini nyawa manusia

Tangis yang tak usai
cerita tak ber-ending.




Pintak Hati Nangko

Sabtu, 25 Juni 2011 0 komentar

Barambui angin malam nangko dingin taraso..
manusuak hati nan marindu pado kasiah..
mambao juo angin jo kaba nan mambuek hati ko taraso takuik...
takuik alun pulo ka nan tajadi...

Tabayang-bayang juo kasiah nan jauah di mato..
di baok lalok mato ndak namuah..
dek lah taminum kasiah jo rindu..
inyo juo ka isi hati nanko..
iyo inyo kasiah alah tatumpah..

Tambah dingin juo malam nangko..
baitu pulo hati batambah rindu juo..
di cubo di umbuik hati jo gambar nyo..
ndak taubek juo hati nan marindu..
lah di cubo...nak namuah juo..

Nan malam dingin nangko..
nan malam dingin nangko...bakato...
"iyo...pado nan di Ateh..
Jan pisahkan hati nan di mabuak kasiah jo sayang..
pasatukanlah hati jo jantuang ko..
pado gadih nan ambo cintoi.."

Jumat, 12 November 2010 17:10 |

Tiga nyawa awal pemberitaan
selalu malam tumpuan bersadar
menikmati segelas buah pahit olahan hidup
melayang mabuk jiwa sendiri.

Nyawa satu
igaun malam sakit jiwa
melayang sakit tubuh menjalar
ingatan terpandu sakit gula parah
tempat tidur kapal pecah di hantam gelombang.

Nyawa dua
tertidur pulas kerinduan
mimpi melunasi hutang perdagangan
istri jauh diseberang memangku anak berdua
berkerinduan bercampur baur keinginan bersama
tapi...
segala ke inginan terbatas dinding keras kehidupan
malam diam tak menjawab kata.

Nyawa tiga
sibuk berenang di samudra kata
sok sangup berenang mencari mutiara
tak tau apa yang di tulis
habis pena tak menentu
menyelami kebahagian
menyelami kehampaan
menyelami kesedihan
menyelami kebodohan
hanya jadi sampah dalam tulisan
itu aku sok penulis.Akui itu.

Tutup cerita tiga nyawa
tutup buku usang tak berguna
itu ku tulis di atas kebodohan hidup
Ya...!!!
penulis awam.

Kamis, 16 Juni 2011 17:30

Sekumpulan orang sakit hidup
berkumpul tepian kota dan kampung
melayang siang di pembatuan genap
merayap malam penampungan gedung.

Tertawa sendiri ?.Tertawa hidup
terdiam sendiri?.Diam makin hidup
menangis sendiri?.Tangisan kenikmatan
aku juga hadir.

Tentang cinta ?.Tak mengerti
Tentang romantis ?.Itu jauh dari jiwa
Tanya pahit?.Baru itu mulut senang berbicara
Tanya di tipu ?.Itu santapan kebodohan
Itu aku juga tumbuh.

Kumpulan orang sakit hidup
Berkumpul bersama angan.Kebodohan.

Aku lengkap.Tiga nyawa
gelisah satu nyawa
pulas tidur.Nyawa kedua
menulis sok sastrawan.Itu aku nyawa ketiga
ya...
tiga nyawa kumpulan orang saki hidup

Kamis, 16 Juni 2011 17:16

Written by ayisrahja


Nama kerajaan ini berasal dari penggabungan dua kata.
Paga = Pagar
Ruyuang = ruyung
Nama untuk daerah kekuasaan Adityawarman yang dipagari ruyung pohon kuamang di wilayah kabupaten Tanah Datar sekarang.
Kerajaan Pagaruyuang adalah kerajaan yang pernah berdiri meliputi wilayah Sumatra Barat sekarang dan daerah2 sekitarnya. Ibukotanya berada di Nagari Pagaruyuang, Kerajaan ini didirikan oleh seorang pangeran majapahit bernama Adityawarman pada tahun 1347 M. Dan kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an.

Walaupun Adityawarman merupakan pangeran dari majapahit ia sebenarnya memiliki darah melayu. Dalam sejarahnya pada tahun 1286 Raja Kertanegara dari Singosari menghadiahkan Arca Amogapacha untuk kerajaan Darmasraya di Minangkabau. Sebagai balasan Raja Darmasraya memperkenankan dua putrinya Dara petak dan Dara jingga untuk dibawa dan dipersunting oleh bangsawan Singosari. Dari perkimpoian Dara Jingga inilah kemudian lahir Adityawarman. Setelah Singosari runtuh berdirilah kerajaan Majapahit dan Adityawarman merupakan seorang pejabat dari majapahit. Yang kemudian Dia dikirim ke Darmasraya sebagai penguasa daerah tersebut.

Namun kemudian justru Adityawarman melepaskan diri dari pengaruh Majapahit.Tertulis pada prasasti dengan tahun 1347, disebutkan bahwa Adityawarman menobatkan diri sebagai raja Daerah tersebut. Daerah kekuasaannya disebut Pagaruyuang karena Ia memagari daerah tersebut dengan ruyung agar aman dari gangguan pihak luar ( fort level 1).
Sebelum kerajaan ini berdiri sebenarnya masyarakat di wilayah minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi yg merupakan lembaga musyawarah dari berbagai nagari dan luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan pagaruyuang merupakan perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat.

Wilayah pengaruh kerajaan Pagaruyuang dapat dilacak dari pernyataan berbahasa minang ini.
Dari sikilang Aia Bangih
Hinggo Taratak Aia Hitam.
Dari Durian Ditakuak Rajo
hinggo Sialang Balantak Basi
Batas Utara adalahSikilang Aia bangih , sekarang didaerah Pasaman Barat berbatasan dengan Natal Sumatra Utara.
Taratak Aia Hitam berada diwilayah Bengkulu sekarang (Bangkahulu).
Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah dikabupaten Bungo, Jambi dan terakhir
Sialang Balantak Basi wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau.

Pada masa keemasan kesultanan Aceh wilayah2 di pesisir barat telah jatuh dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada kerajaan Pagaruyuang dan kekuasaan Raja pagaruyang sudah sangat lemah menjelang perang Padri meskipun raja masih tetap dihormati. Kerajaan ini runtuh pada masa perang Padri akibat konflik dan campur tangan kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19.
"Minangkabau sudah ada sejak abad pertama Masehi"

demikian menurut Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.

Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh sampai 14.

Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya.

Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengan kerajaan Pagaruyung.

Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung, seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.


Kedukan Bukit menyatakan Minang sudah ada sebelum berdirinya sriwijaya (Prof Poerbacaraka)

Prasasti kedukan bukit menyatakan bahwa Minang sudah ada sebelum berdirinya Sriwijaya

1 Swasti, sri. Sakawarsatita 604 ekadasi su-
2 klapaksa wulan Waisakha Dapunta Hyang naik di
3 samwau mangalap siddhayatra. Di saptami suklapaksa
4 wulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga
5 tamwan mamawa yang wala dua laksa dangan kosa
6 dua ratus cara di samwau, dangan jalan sariwu
7 telu ratus sapulu dua wanyaknya, datang di Mukha Upang
8 sukhacitta. Di pancami suklapaksa wulan Asada
9 laghu mudita datang marwuat wanua .....
10 Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa

Terjemahan dalam bahasa Indonesia modern:
1 Bahagia, sukses. Tahun Saka berlalu 604 hari kesebelas
2 paroterang bulan Waisaka Dapunta Hyang naik di
3 perahu melakukan perjalanan. Di hari ketujuh paroterang
4 bulan Jesta Dapunta Hyang berlepas dari Minanga
5 tambahan membawa balatentara dua laksa dengan perbekalan
6 dua ratus koli di perahu, dengan berjalan seribu
7 tiga ratus dua belas banyaknya, datang di Muka Upang
8 sukacita. Di hari kelima paroterang bulan Asada
9 lega gembira datang membuat wanua .....
10 Perjalanan jaya Sriwijaya berlangsung sempurna

menurut Poerbacaraka kata Minanga Tamwam : daerah pertemuan sungai Kampar Kanan dan Kampar. daerah tersebut disebut2 dalam tambo Minang sebagai rantau, bagian dari Minangkabau.

sedang buku sejarah nasional menyatakan bahwa pusat kerajaan (tdk disebut namanya) yg menjadi cikal bakal Sriwijaya ada di Kampar, Pusat kerajaan berpindah ke Palembang setelah ekspedisi militer dari Minanga Tamwam berhasil. ((Sejarah Nasional Indonesia, II, Balai Pustaka, Jakarta, 1977, h. 53).
Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di Majapahit serta telah pula pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, tentulah paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di Pagaruyuang. Hal ini ternyata pada prasasti yang ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang dibaca Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan.

Menurut Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung, sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan pemerintahan adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat dianggap sebagai lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan kedua tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan kemudian pengaruh budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak dapat tempat di hati rakyat Minangkabau, karena prinsipnya rakyat Minangkabau sendiri secara langsung tidak berkenalan dengan pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum Adat Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja merupakan seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat terbatas.

Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua itu, mengingat pada mulanya kekuasaan Adityawarman yang sangat besar sekali. Agar kehidupan masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh kebiasaan yang dibawa oleh Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya dengan pengaturan kekuasaan, Adityawarman boleh menjadi raja yang sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya terbatas di sekitar istana saja, sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat tetap dipegang oleh mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang merupakan seorang raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyuang mulai luntur. Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuak Perpatih Nan Sabatang berdua dengan Datuak Ketumanggungan tidak memberi kesempatan kepada pengganti Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa seterusnya.

Pasca pertempuran Padang Sibusuak tahun 1409
Akibat pertempuran Padang Sibusuak itu membawa akibat yang sangat besar dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyuang selanjutnya. Semasa Adityawarman menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut sistem di Majapahit. Tetapi sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu, nagari-nagai di Minangkabau membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyuang.

Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah desentralisasi dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai otonom penuh dan pemerintahan di Pagaruyung sudah mulai melemah.

Selanjutnya dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo Tigo Selo dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di bidang masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk pimpinan, Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas kerajaan dibidang adat. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan melaksanakan urusan keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga pemerintahan di tingkat raja.

Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek Balai terdiri dari:
1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri
2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama
3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan
4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan rantau

Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik sampai ketingkat kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro dan kalau tidak putus juga diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau tidak putus juga masalahnya diteruskan lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan kata putus. Begitu juga dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus kepada raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga akhirnya sampai kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.

Selanjutnya dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan pengiriman “Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu daerah-daerah: Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan lain-lain. Pengangkatan dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.
NASKAH UNDANG-UNDANG ZAMAN ADITYAWARMAN

Uli Kozok Penemu Naskah Undang-Undang Zaman Adityawarman


Oleh: Syofiardi Bachyul Jb/PadangKini.com, 3 April 2008.

ULI Kozok, doktor filologi asal Jerman, telah mengejutkan dunia penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia . Lewat temuan sebuah naskah Malayu kuno di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang ia lihat pertama kali di tangan penduduk pada 2002, ia membantah sejumlah pendapat yang telah menjadi pengetahuan umum selama ini.

Pendapat pertama, selama ini orang beranggapan naskah Malayu hanya ada setelah era Islam dan tidak ada tradisi naskah Malayu pra-Islam. Artinya, dunia tulis-baca orang Malayu diidentikkan dengan masuknya agama Islam di nusantara yang dimulai pada abad ke-14.

"Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah" yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa dan memiliki kata-kata tanpa ada satupun serapan ‘berbau' Islam.

Berdasar uji radio karbon di Wellington , Inggris naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Kerajaan Adityawarman di Suruaso (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara 1345 hingga 1377. Naskah ini dibuat di Kerajaan Dharmasraya yang waktu itu berada di bawah Kerajaan Malayu yang berpusat di Suruaso. Karena itu Kozok mengumumkan naskah tersebut sebagai naskah Malayu tertua di dunia yang pernah ditemukan.

"Ada pakar sastra dan aksara menganggap tidak ada tradisi naskah Malayu sebelum kedatangan Islam, ada yang beranggapan Islam yang membawa tradisi itu ke Indonesia, dengan ditemukannya naskah ini teori itu runtuh," kata Kozok yang bertemu Padangkini.com di Siguntur, Kabupaten Dharmasraya pengujung Desember 2007.


Aksara Sumatera Kuno

Pendapat kedua, seperti halnya Jawa, Sumatera sebenarnya juga memiliki aksara sendiri yang merupakan turunan dari aksara Palawa dari India Selatan atau aksara Pasca-Palawa. Selama ini aksara di sejumlah prasasti di Sumatera, seperti sejumlah prasasti-prasasti Adityawarman, disebut para ahli sebagai aksara Jawa-Kuno..

Padahal, menurut Kozok, aksara itu berbeda. Seperti halnya di Jawa, di Sumatera juga berkembang aksara Pasca-Palawa dengan modifikasi sendiri dan berbeda dengan di jawa yang juga bisa disebut Aksara Sumatera-Kuno.

Prasasti-prasasti peninggalan Adityawarman di Sumatera Barat, menurutnya, sebenarnya aksara Pasca-Palawa Sumatera-Kuno, termasuk yang digunakan pada Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah dengan perbedaan satu-dua huruf. Namun selama ini prasasti-prasasti itu disebut ahli yang umumnya berasal dari Jawa sebagai aksara Jawa-Kuno.

"Mereka punya persepsi bahwa Sumatera itu masih primitif dan orang Jawa yang membawa peradaban, begitulah gambaran secara kasar yang ada dibenak mereka, karena mereka peneliti Jawa, sehingga ketika mereka datang ke Sumatera dan melihat aksaranya, menganggap aksara Sumatera pasti berasal dari Jawa, nah sekarang kita tahu bahwa kemungkinan aksara itu duluan ada di Sumatera daripada di Jawa," katanya.

Pendapat ketiga, kerajaan Malayu tua pada zaman Adityawarman telah memiliki undang-undang tertulis yang detail. Undang-undang ini dikirimkan kepada raja-raja di bawahnya. Selama ini belum pernah ada hasil penelitian yang menyebutkan Kerajaan Malayu Kuno memiliki undang-undang tertulis.

Pendapat keempat, dengan ditemukannya "Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah" selangkah lagi terkuak informasi mengenai Kerajaan Dharmasraya, Adityawarman, dan Kerajaan Malayu yang beribukota di Suruaso (Tanah Datar). Naskah tersebut menyebutkan bahwa Kerajaan Malayu beribukota Suruaso yang dipimpin oleh Maharaja Diraja, di bawahnya Dharmasraya yang dipimpin Maharaja, dan di bawah Dharmasraya adalah Kerinci yang dipimpin Raja.

"Meski begitu saya yakin kekuasaan Suruaso dan Dharmasraya terhadap Kerinci hanya secara ‘de jure' (hukum-red) dan bukan ‘de facto' (kekuasaan), sebab Kerinci waktu itu tetap memiliki kedaulatannya sendiri, hubungannya lebih kepada perekonomian karena Kerinci penghasil emas dan pertanian," kata Kozok.

Sebenarnya naskah Tanjung Tanah pernah dicatat sebagai salah satu daftar naskah kuno Kerinci oleh Petrus Voorhoeve, pegawai bahasa Zaman Kolonial Belanda pada 1941 sebagai tambo Kerinci dan disimpan di perpustakaan Koninklijk Instituut voor de Taal, Land, en Volkenkunde (KILV) di Leiden, Belanda.

Di perpustakaan itu ada foto naskah tersebut tapi kurang baik. Voorhoeve menuliskan laporan tentang naskah yang disebutnya sebagian beraksara rencong, dan halaman lainnya beraksara Jawa Kuno. Namun tidak sampai pada kesimpulan.


Undang-Undang dari Dharmasraya

Transliterasi dan terjemahan naskah 34 halaman itu dilakukan sejumlah ahli yang dikoordinasi oleh Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa). Ternyata naskah tersebut berisi undang-undang yang dibuat di Dharmasraya (sekarang tepatnya di tepi Sungai Batanghari di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat) yang diberikan kepada masyarakat Kerinci.

Dharmasraya waktu itu adalah pusat Kerajaan Malayu beragama Hindu-Buddha di bawah pemerintahan tertinggi di Saruaso (Tanah Datar) dengan raja Adityawarman. Tulisan tentang naskah kuno ini telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Naskah Malayu yang Tertua (Yayasan Obor Indonesia : 2006). Edisi sebelumnya dalam bahasa Inggris The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript ( Cambridge : St Catharine's College and the University Press: 2004).

Uli Kozok pernah mengikutkan kopian Naskah Tanjung Tanah pada pameran di Singapura 18 Januari hingga 30 Juni 2007 dalam pameran bertajuk "Aksara: The Passage of Malay Scrips-Menjejaki Tulisan Melayu".

Sebelumnya di Malaysia Naskah Tanjung Tanah diseminarkan di University of Malaya , Kuala Lumpur dalam acara Tuanku Abdul Rahman Conference, 14-16 September 2004. Saat itu Uli Kozok menyerahkan buku Tanjung Tanah Code of Law terbitan Cambridge University kepada Perdana Menteri Malaysia .

"Mereka (Bupati dan masyarakat Kerinci-red) sudah sangat baik budi kepada saya, dan sekarang... ya mudah-mudahan saya bisa membantu Kerinci sedikit, mempopulerkan daerahnya, sebagaimana orang Malayu bilang... untuk membalas budi, sekarang perhatian ilmuwan dari mancanegara sudah banyak terhadap Kerinci sebagai daerah ditemukan naskah malayu yang tertua," katanya.***
Sesudah Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyuang yang tidak lagi mempunyai raja yang merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman sebagai anaknya tidak pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman langsung digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari sebutan raja itu saja, kelihatannya sesudah Adityawarman raja yang menggantikannya sudah menganut agama Islam.

Adanya Sultan Bakilap Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh Tambo Minangkabau. Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti Adityawarman, maka hilang pulalah pengaruh agama Budha yang dianut Adityawarman di Minangkabau.

Sampai dengan pertengahan abad ke-16 sesudah Adityawarman tidak memperoleh keterangan yang lengkap mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya sesudah Adityawarman meninggal, kerajaan Majapahit kembali berusaha untuk menguasai Pagaruyuang serta Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena angkatan perang kerajaan Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan oleh tentara Pagaruyuang dalam pertempuran di Padang Sibusuak tahun 1409.

Akibat pertempuran Padang Sibusuak itu membawa akibat yang sangat besar dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa Adityawarman menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut sistem di Majapahit. Tetapi sesudah pertempuran Padang Sibusuak itu, nagari-nagai di Minangkabau membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyuang.

1. Adityawarman (1339-1376)
2. Ananggawarman (1376)
3. Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam 1409
4. Yang Dipertuan Sultan Pasambahan
5. Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
6. Yang Dipertuan Sultan Barandangan
7. Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan Muning II)
8. Yang Dipertuan Sultan Muning III
9. Yang Dipertuan Sultan Sembahwang
10. Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
Sultan Alam Bagagar Shah
Sultan Terakhir Pagaruyuang
Ketika meletus perang PAderi tahta Pagaruyuang dipegang oleh Raja Muning Shah alias Tuanku Nan Tuah. Raja Muning Shah berhasil menyelamatkan diri dari kejaran kaum Paderi. Raja Muning Shah ini mempersunting Tuan Gadis, tetapi kemudian bercerai dan Tuan Gadis kembali ke Suruasso. ketika itu Raja Muning Shah bersembunyi di Lubuk Jambi. Maka dianggap Sultan Alam Bagagar Shah yang menggantikannya. Tuanku Alam Bagagarshah ini adalah putra dari saudara perempuan jadi menurut adat istiadat negeri ini, merupakan pengganti yang sah dari Raja Muningsyah tersebut. Ia kemudian menjadi Regent Tanah Datar.
Ketika Belanda datang, Sultan Alam Bagagar Shah disertai banyak pemukapemuka adat Minangkabau lainnya, dikumpulkan Belanda dengan dalih untuk “melindungi mereka dari ancaman Paderi”. Waktu itu Belanda sudah mengawal mereka dengan 100 orang serdadu ditambah 2 buah meriam besar.
Peristiwa initerjadi pada 10-2-1821 mereka ketika itu dipaksa dengan ancaman harus menandatangani Pernyataan untuk melepaskan semua tanah Minangkabau kepada Hindia Belanda. Mereka yang menandatangani di bawah ancaman Belanda itu ialah:
- Daulat Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarshah
- Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suruasso
- Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam dari Suruasso
- Datuak Basuko dan Datuk Mudo dari Batipuah
- Datuak Rajo Mudo dan Datuk Palindih dari Singkarak
- Datuak Rajo Mudo dan Datuk Rajo Bagagar dari Saniangbakar
- Datuak Rajo Nan Sati dari Bungo Tanjuang
- Datuak Gadang Maharajolelo dari Pitalah
- Datuak Sati dari Tanjuang Barulak
- Datuak Rajo Bukik dari Gunuang Rajo
- Datuak Panghulu Basa dari Batusangka
- Datuak Maharajo Lelo dai Sumpua
- Datuak Seripado dari Malalo
- Datuak Nahkoda Intan Datuak Paduko dari Simawang

Sesuai dengan Peraturan (Reglement) Residen Sumatera Barat tgl. 27 Okt. 1823 No. 58, pembagian Pemerintahan di Minangkabau sebagai berikut:
A. Padang Wilayah
1. Regent Padang, 2. Regent Pariaman, 3. Regent Pulau Cinko, 4. Regent Aia Haji;

B. Minangkabau :
1. Regent Tanah Datar, 2. Regent Tanah Datar Di bawah, 3. Regent Agam dan 5 Regent Limopuluah Koto;

Di bawah Regentschap ini ada distrik dan di bawahnya lagi ada Kampung dan Dusun. Di Tapanuli dan Nias yang masa itu tunduk ke Sumatera Barat ada pembagian lain. Pada awal system Regent ini diadakan, Sultan Alam Bagagar Shah menjabat sebagai Regent seluruh Minangkabau, kemudian turun hanya Tanah Datar saja. Kemudian dikeluarkan lagi wilayah Tanah Datar Bawah dari kekuasaannya.

Pada 1824 Tuanku Nan Tuah alias Raja Muning Shah kembali ke Pagaruyuang dari tempat persembunyiannya di Lubuk Jambi. Ia kemudian tinggal dengan sana dibawah jaminan keamanan Belanda dimana tempat itu dijaga oleh pasukan Belanda yang membuat benteng disana sejak tangal 1 Januari 1823.

Raja Muning Shah meninggal di Pagaruyuang pada tahun 1826 . Setelah itu Belanda berencana melenyapkan bekas imperium tua Kerajaan Pagaruyuang dan memecah konsentrasi kekuasaan di Minangkabau Keponakannya, Sultan Alam Bagagarsyah, diangkat sebagai Regent Tanah Datar dan Tuanku Samaik, putra dari salah seorang pendiri Paderi, diangkat sebagai Regent Agam.

Rakyat tidak senang dengan politik pecah belah kekuasaan yang dilakukan Belanda, karena politik licik Belanda agar dengan melalui para Regent (dan bawahannya para Kepala Lareh dan Nagari serta Panghulu kampuang lebih mudah mengutip belasting dan mengatur agar perdagangan rakyat tidak bebas lagi. Sehingga banyak daerah seperti Sumpua, Batipuah, Sungai Bakau dan lain-lain berusaha menghindari pengaruh dan tekanan Belanda. Sebab itulah kaum Paderi berusaha membunuh Regent Tanah Datar, karena mereka mencurigai politik Belanda dibelakang layar, yang akan melebarkan kekuasaan sampai ke pedalaman Minangkabau. Pada akhir tahun 1832, kaum Paderi pimpinan Tuanku Tambusai dibantu Panglimanya Tuanku Rao, telah hampir menguasai seluruh Tapanuli Selatan khususnya Padang Lawas, yang membuat Belanda serba salah karena takut melanggar perjanjian London 1824 dengan Inggris. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sentot Ali Basa, yang menurut Belanda berusaha, mengikat kembali rantai perlawanan menentang Belanda di Tanah Minangkabau bersama wilayah Tapanuli Selatan. Menurut laporan Belanda, Sentot Ali Basa, ini sengaja mau menimbulkan kekacauan kembali, dengan maksud agar dia nanti bisa meredakannya sendiri, dengan harapan agar Belanda mengangkat dia jadi raja (Panembahan) disesuatu daerah di Sumatera. Untuk itu ia bersedia bekerja sama dengan Regent Tanah Datar Sultan Alam Bagagar Shah dan dengan Tuanku Nan Cadiak. Makin jelaslah bahwa rencana pemberontakan itu seluruhnya diketahui oleh Ali Basa. Belanda mencurigai Sultan Bagagarsyah berniat mengusir Belandasehingga mudahlah baginya untuk mendirikan kembali Imperium TuaPagaruyuang bahkan akan meluaskannya. Sultan Alam Bagagarsyah secara sembunyi telah memulai perlawanan terhadap Belanda khususnya didaerah Agam dengan 6 distrik, terutama Kamang, Magek, KotoBaru dan penduduk sudah membuat benteng dan barikade dipersimpangan jalan besar pada awal 1833.

Belanda merancang suatu jebakan pada pertemuan besar yang diselenggarakan di Biru, dimana hadir Sentot Ali Basa, Tuanku Sultan Bagagarsyah, Tuanku Nan Ceadiak, Tuanku Alam. Disitu dibacakan sebuah Surat Pengangkatan dari Yang Dipertuan Pagaruyuang Sultan Bagagarsyah yang turut juga ditandatangani oleh Tuanku Imam Bonjol, yang menunjuk Tuanku Alam dari Kaman untuk beroperasi di daerah sebagian dari XII Koto (di pedalaman) dan di daerah 4 Rajo di Kumpulan untuk mengusir Belanda dari tanah Minangkabau. Tuanku Alam langsung ditangkap dan keesokan harinya di hukum pancung oleh Belanda. Begitu juga Tuanku Nan Cadiak ditangkap dan kemudian dibuang ke Betawi tgl.16-3-1833. Komandan Militer Belanda mendesak agar Sentot Ali Basa segera disingkirkan. Kepada Sentot Ali Basa Residen secara diplomatis meminta agar Sentot berangkat ke Betawi guna melaporkan situasi keamanan disana. Ternyata ia tidak dibolehkan kembali ke Sumatera bahkan kemudian dibuang ke Bengkulu. Tentera Jawa Barisannya tetap di Sumatera dan menjadi bahagian dari tentera Belanda. Mengenai Sultan Alam Bagagar Shah, banyak kalangan Belanda minta agar dia segera disingkirkan, tetapi Residen berpikir menunggu kesempatan yang lebih baik nanti karena Residen menganggap dia lemah pengaruhnya kepada rakyat.
Tetapi setelah saat terakhir ditemukan bukti bahwa Regent Tanah Datar menancapkan pengaruhnya masuk kampung keluar kampung, terutama disekitar bulan April 1833, dan setelah diketahui Belanda bahwa Tuanku Sultan Alam Bagagar Shah menulis surat dan minta bantuan Inggris mengirim pasukan sebagai bantuan dari Singapura kepadanya, maka Residen Elout tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan harus segera menangkap Regent Tanah Datar itu. Bahwa Regent Pagaruyuang sudah berbulan-bulan menulis surat kepada Inggris agar mereka memberikan pertolongan melawan Belanda. Residen Elout dengan marahnya mengecam tindak tanduk Sultan Bagagarshah. Lalu serta merta disuruhnya pasukan menangkap Sultan Alam Bagagarsyah dan di bawa ke Padang (2 Mei 1833). Ketika perlawanan rakyat makin menjadi-jadi kemudian ia nanti dibawa ke Jawa (Batavia) untuk dibuang disana.
Ternyata 2 hari sesudah penangkapannya, seharusnya Sultan Alam Bagagar Shah akan mengepalai sebuah rapat besar di Sumpu, di mana akan ditentukan jam dan hari serentak pemberontakan terhadap Belanda diseluruh alam Minangkabau. Memang berita penangkapan dan pembuangan Sultan Alam Bagagarsyah menimbulkan aksi luas yang luarbiasa diseluruh Minangkabau. Di bawah pimpinan Regent Buah, yang juga kerabat dari Sultan Bagagar Shah dia, memerintahkan kepada beberapa orang Huluubalang, menyerang Letnan Hendriks, pada malam 12 Mei 1833, tetapi dalam keadaan sekarat Hendriks dapat selamat lari ke benteng. Kemudian benteng Belanda di Gugung Sigandang dikepung gerilyawan rakyat, di mana komandan benteng, Letnan Tomsos, dapat ditewaskan bersama pasukannya dan benteng dibakar. Di Ambacang, benteng Fort de Kock dan benteng Belanda di Kuriri di kepung dan diserang gerilyawan rakyat. Belanda menunjukkan kekejamannya dengan memenggal 15 orang pejuang rakyat yang dapat tertangkap. Kejadian baru di Sumatera Barat itu membangkitkan ketakutan Belanda akan kemungkinan berulangnya lagi perang besar “Bonjol II”.Sehingga dengan segera didatangkanlah dari Batavia bantuan pasukan sebesar 1100 serdadu bersama dengan Mayor Jenderal Riesz didampingi Komisaris Hindia Belanda, Van den Bosch. Sultan Alam Bagagar Shah dibuang di Batavia dan mangkat di sana 1849.
Hubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang datang ke Malaka. Kedatangan utusan tersebut adalah untuk membicarakan masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu menguasai Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau Sumatera, maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.

Dengan bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun 1600, diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn membeli lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa pelabuhan yang ada disana menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.

Pada waktu Sultan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh meninggal dunia, maka kekuasaan kerajaan Aceh menjadi lemah, sehingga mulai tahun 1636 sewaktu Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah Pesisir Barat kerajaan Pagaruyung mulai membebaskan diri dari kekuasaan Aceh dan melakukan hubungan dagang langsung dengan Belanda, seperti yang dilakukan oleh raja-raja Batang Kapas, Salido, Bayang di Pesisir Selatan.

Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis dan semenjak itu Belanda mulai memperbesar pengaruhnya di pesisir barat Sumatera untuk menggantikan kerajaan Aceh. Mula-mula Belanda mendirikan kantor dagangnya di Inderapura terus ke Salido. Kemudian di Pulau Cingkuak juga didirikan lojinya pada tahun 1664 untuk mengatasi perlawanan rakyat pesisir yang dikoordinir oleh Aceh.

Untuk melepaskan pesisir barat pulau Sumatera dari pengaruh Aceh, maka Belanda melakukan perjanjian dengan raja Pagaruyung yang merupakan pemilik sesungguhnya dari daerah tersebut. Oleh raja Pagaruyung Belanda diberikan kebebasan untuk mengatur perdagangannya pada daerah tersebut. Perjanjian itu dilakukan pihak Belanda dengan Sultan Ahmad Syah pada tahun 1668.

Mulai saat itu Belanda, melangkah selangkah demi selangkah menanamkan pengaruhnya di Sumatera Barat dengan jalan politik pecah belahnya yang terkenal itu. Disatu pihak mereka menimbulkan perlawanan rakyatnya terhadap raja atau pemimpinnya sesudah itu mereka datang sebagai juru selamat dengan mendapat imbalan yang sangat merugikan pihak Minangkabau, sehingga akhirnya seluruh Minangkabau dapat dikuasai Belanda.

Semenjak abad ke 17 terjadi persaingan dagang yang sangat memuncak antara bangsa Belanda dengan bangsa Inggris di Indonesia. Pada tahun 1684 Belanda dapat mengusir Inggris berdagang di Banten. Sebaliknya Inggris masih dapat bertahan di daerah Maluku dan menguasai perdagangan di daerah pesisir Sumatera Bagian Barat. Pada tahun 1786 berhasil menguasai pulau Penang di Selat Malaka sehingga mereka dapat mengontrol jalan dagang diseluruh pulau Sumatera. Sumatera mulai dibanjri oleh barang-barang dagang Inggris. Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak Belanda.

Tahun 1780-1784 pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini merambat pula sampai ke daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang lautan. Pada tahun 1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dari pusat kedudukannya di Bengkulu, dan Padang serta benteng Belanda di Pulau Cingkuak di hancurkan.

Dengan demikian pusat perdagangan berpindah ke Bengkulu. Setelah terjadi perjanjian antara kerajaan Belanda dengan kerajaan Inggris maka Inggris terpaksa mengembalikan seluruh daerah yang sudah direbutnya.

Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera Barat, yaitu ketika bajak laut yang dipimpin oleh Kapten Le Me dengan anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis Padang. Hal ini terjadi pada tahun 1793. mereka dapat merebut Kota Padang dan mendudukinya selama lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi. Pada tahun 1795 Inggris merebut Padang lagi, karena terlibat perang lagi dengan Belanda.
Perancis di Ranah Minang

Keberadaan orang Perancis selama ini jarang dibahas. Srtelah iseng2 wa mencari melalui Google bertemulah wa dengan beberapa website yang menceritakan perjalanan unik seorang Perancis. Dengan mengambil sumber dari perpustakaan di Belanda dan menggabungkan dengan sumber dari museum di Inggris maka tulisan ini bisa dibuat.
Orang Perancis tersebut ialah Jean Permentier, seorang penjelajah Perancis yang sudah menjelajah beberapa bagian dunia terutama benua Amerika dan Afrika.
Jean Permentier menjelajahi bagian Sumatera atas penugasan Raja Perancis waktu itu dengan maksud memecahkan rahasia asal usul rempah-rempah yang dijual Portugal di Eropa. Portugal saat itu memegang monopoli rempah-rempah di Perancis.
Jean berangkat pada tanggal 3 April 1529 dengan iringan kecil terdiri atas 2 kapal sedang dan 2 kapal pengawal kecil. Pada tangal 28 Oktober 1529 Jean Parmentier mencapai pantai barat Sumatera (sekitar Padang atau Pariaman) dengan tersisa 2 kapal karena 2 kapal pengawal tenggelam akibat serangan bajak laut di Dar Es Salam (Afrika) dan perairan Yaman.
Pada saat memasuki perairan Aceh iringan kapal Perancis ini sempat dicegat kapal perang Aceh (Aceh sdg berperang dengan Portugal yang merupakan sekutu Perancis dalam menghadapi Spanyol) setelah melalui negosiasi dan membayar akhirnya kapal diizinkan meneruskan perjalanan.
Perjalanan Jean ke pantai barat Sumatera ini ditulis dalam memoirnya dimana dalam memoarnya diceritakan bahwa pantai barat Sumatera ini (Padang) sangat ramai dengan kehadiran pelaut-pelaut asal Portugal, Thai, Arab, Persia, Turki, India, Aceh, China, Sailan (sri Lanka).Menurut memoir Jean Parmentier masyarakat setempat mayoritas masih beragama Budha dan Hindu. Tapi orang-orang Arab sudah mendirikan pemukiman disekitar pelabuhan.
Komoditi yang dijual di pelabuhan ini rempah-rempah berupa lada dan cabe, pelabuhan ini juga menjadi pusat perdagangan emas di pantai barat Sumatera.
Jean memang tdk sempat menjejakan kaki di bumi Minang dan hanya mengirim utusan. Dalam memoirnya mengutip sang utusan Jean menyatakan bahwa pelabuhan yang ramai tersebut punya penduduk yang amat religius, lingkungan sekitar juga bersih dan tertata rapi dan mereka dipimpin oleh seorang Raja yang adil. Tampaknya kuda sudah dipakai penduduk sekitar untuk alat transportasi. Sayang memoir tersebut terputus karena utusan yang dikirim Jean tidak bisa lebih jauh menjelajahi daratan karena harus kembali ke kapal karena menderita diare. Jean mengambil keputusan untuk mengkarantina seluruh anak buahnya dan menunggu wabah berakhir. Ternyata wabah penyakit berlangsung cukup lama. Menurut memoirnya, hampir 1/2 dari awal kapal Jean meninggal akibat penyakit, pada akhirnya Jean (yg sedang sakit kena diare) pada bulan Januari memutuskan untuk meninggalkan pantai Padang dan kembali ke Perancis.
Banyak hal yg dituliskan oleh Jean dalam memoirnya yang mengilhami pembuatan lukisan de Java Le Grand.



*Java le Grand masih menjadi kontroversi, apakah ini gambaran pantai Padang waktu itu atau bukan. Beberapa ahli mengatakan bhw lukisan tersebut menggambarkan Australia. Beberapa ahli yng mendukung bhw itu adalah pantai barat Sumatera karena adanya Kuda di lukisan tersebut (kuda di Australia dibawa oleh penjelajah Inggris, pada waktu itu Inggris belum mengkolonisasi Australia) belum lagi gambar orang yang diiringi orang lain yang membawa payung (menandakan posisi org yg dipayungi adalah majikan dari yg memayungi, kaum aborigin belum mengenal strata seperti ini).
Minangkabau Eksportir Senapan Abad 18

Sedikit orang yang tahu bahwa pada abad ke-18, Minangkabau sudah terkenal sebagai pembuat senapan dan mengekspor senapan beserta pelurunya pada bangsa asing seperti Portugis maupun pada Kerajaan Aceh.

Seorang Belanda yang berkunjung ke Sumatera Barat pada saat awal Perang Padri menulis: “Rakyat Minangkabau adalah orang yang berani, terlatih dalam perang, penembak yang jitu dan dalam menghadapi kesulitan serta pandai menggunakan keadaan alam sebagai keuntungan dalam pertahanan”.

Dia juga menulis bahwa Rakyat Minangkabau sudah mengenal senapan dan bahkan telah mampu memproduksinya sendiri. Senapan - senapan itu persis dengan yang Belanda miliki, modelnya pun hanya tertinggal setahun dua tahun.

Daerah yang terkenal sebagai produsen senapan adalah Sungai Yani dan Sungai Puar. Harga senapan kualitas satu berkisar antara 10-12 gulden dan naik tajam pada saat perang Padri menjadi 20-30 gulden. Peluru yang dipakai orang Minang pada saat itu adalah peluru timah dan biasanya dicampur dengan pecahan porselen, besi kecil dan beras.

Pembuatan mesiu dilakukan oleh para wanita Minang dengan campuran saltpeter (diperoleh dari kotoran hewan meskipun terdapat saltpeter alam tetapi orang-orang Minang tidak mengetahuinya), belerang yang diperoleh dari gunung berapi maupun sumber air panas dan arang. Semua bahan-bahan tersebut diramu dan dimasak diatas wajan besi diatas api. Sebuah proses yang sederhana dan sangat berbahaya tetapi jarang sekali terjadi kecelakaan.

Tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali orang-orang Minang mengenal dan belajar membuat senapan. Ada dua kemungkinan asal transfer teknologi pembuatan senapan ini, yaitu:

Pertama adalah dari kekaisaran Ming di Cina pada kisaran tahun 1390 – 1527, karena pada akhir abad ke 14 dan awal abad ke 15, teknologi pembuatan mesiu dan senapan dari daratan Cina telah menyebar keseluruh semenajung Malaka dan Sumatera yang menyebabkan ekspansi besar-besaran kerajaan-kerajaan didaerah tersebut, jauh sebelum orang-orang Eropa datang memperkenalkan senapan mereka.

Kedua adalah dari kekaisaran Ottoman Turki. Invasi Portugis ke Laut India untuk menguasai jalur perdagangan lada pada tahun 1498 memaksa Kerajaan Aceh untuk meminta perlindungan militer pada Kekaisaran Ottoman Turki dengan membawa upeti dan sebuah surat pengakuan bahwa Kerajaan Aceh vassal pada Kekaisaran Ottoman dan sebagai balasan tahun 1520, Vezir Sinan Pasha mengirim ke Aceh meriam-meriam Turki dan Pedang.

Sultan Suleiman pada tahun 1537 mengirim armada lautnya ke Gujarat untuk menghancurkan angkatan laut Portugis dan pasukan ini tiba di Aceh untuk membantu Aceh dalam perang melawan Batak dan Portugis.

Sebuah surat dari Sultan Awaluddin pada tahun 1567 yang meminta bantuan militer dan Sultan Selim II bukan saja hanya mengirim bantuan militer tetapi juga beberapa ahli pembuat senapan dan meriam ke Aceh.

Meriam-meriam ini akhirnya juga sampai di Minangkabau dan dipakai secara aktif melawan Belanda dalam perang Padri. Sayangnya salah satu penyebab pudarnya kekaisaran Ottoman ini adalah karena menolak mengadopsi teknologi terbaru kedalam senapannya.

Reference:

Rusli Amrin, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, Perang Saudara yang ditunggangi Belanda, Orang Padri Sebagai Pejuang, halaman 399, Penerbit Sinar Harapan.

Sun Laicen, Military Technology Transfers from Ming China, Journal of Southeast Asian Studies (2003), Cambridge University Press.

Xin Hua News, Ancient Gun from Ming Dinasty found in China, 7 February 2001.

Marsden, William, History of Sumatera, London 1783

John and Anne Summerfield, Walk in Splendor: Ceremonial Dress and the Minangkabau, UCLA Fowler Museum of Cultural History Textile Series, No. 4, 1999

Anthony Reid, The Ottoman in Southeast Asia, Asian Research Institute, National University of Singapore, 2005.

Rashid (Turkish Foreign Minister) to Musurus (Ambassador to Britain and the Netherlands), 11 Aug. 1873, Woltring (ed.), Bescheiden Betreffende de Buitenlandse Politiek van Nederland, 2de Periode (The Hague: Nijhoff, 1962.), 1, p.612.

Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese and other Histories of Sumatra (Singapore: University of Singapore Press, 2004). Pp.74-78.

Reid, An Indonesian Frontier, pp.79-87. Also Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce Vol. II (New Haven: Yale University Press, 1993), pp. 146-7.
(dari wiki) Secara garis besar Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.
Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.
Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838. Alam Minangkabau menjadi bagian dari pax neerlandica. Tetapi pada tahun 1842, pemberontakan Regent Batipuh meletus.

Akhir perang Paderi
Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Letnan Kolonel Bauer, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Paderi.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Belanda menggunakan 2 benteng sebagai pertahanan selama perang Padri,Fort de Kock dan Fort van der Capellen di Batusangkar.
Kepala Perang Bonjol ialah Baginda Telabie. Kepala-kepala lain adalah Tuanku Mudi Padang, Tuanku Danau, Tuanku Kali Besar, Haji Mahamed, dan Tuanku Haji Berdada yang tiap hari dijaga oleh 100 orang. Yang memberi perintah ialah Tuanku Imam Bonjol dengan pertahanan enam meriam di daerah gunung. Halaman-halaman dikitari oleh pagar pertahanan dan parit-parit.

Perang 1833

Pada tahun 1832, benteng Bonjol jatuh ke tangan serdadu Kompeni. Hal ini memicu kembali peperangan. Pos Goegoer Sigandang yang dijaga oleh seorang sersan Belanda dan 18 serdadu dipersenjatai dengan sebuah meriam pada tahun 1833 diserbu oleh orang-orang Minang. Mereka membunuh sersan dan seluruh isi benteng. Kolonel Elout membalas dendam dengan cara memanggil beberapa pemimpin dari daerah Agam untuk menghadapnya di Goegoer Sigandang dan 13 orang menghadap. Atas perintah Kolonel, ke-13 orang itu digantung semua. Setelah kejadian ini Sultan Bagagarsyah Alam dari Pagaruyung dibuang ke Batavia.
Selain penduduk Bonjol, terdapat pula di benteng 20 orang serdadu Jawa yang telah menyeberang ke pihak Paderi. Di antara serdadu-serdadu yang telah meninggalkan tentara Belanda itu terdapat seorang yang bernama Ali Rachman yang berupaya keras untuk merugikan Kompeni. Juga ada seorang pemukul tambur bernama Saleya dan seorang awak meriam (kanonnier) bernama Mantoto. Ada juga Bagindo Alam, Doebelang Alam, dan Doebelang Arab. Doebelang Arab secara khusus berkonsentrasi untuk mencuri dalam benteng-benteng Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda kini telah menyadari bahwa mereka tidak lagi hanya menghadapi kaum paderi, tetapi masyarakat Minangkabau. Maka pemerintah pun mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat Panjang (1833) berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Kompeni ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri ini, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu adat mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak.
Karena usaha Kompeni untuk menjaga keamanan, mencegah terjadinya "perang antar-nagari", membuat jalan-jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi. Akhirnya benteng Bonjol jatuh juga untuk kedua kalinya pada tahun 1837.

Perundingan

Residen Belanda mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku menyatakan bersedia melakukan perundingan dengan Residen atau dengan komandan militer. Perundingan itu tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku datang ke tempat berunding tanpa membawa senjata. Tapi perundingan tidak terlaksana. Tuanku Imam Bonjol yang datang menemui panglima Belanda untuk berunding, malah ditangkap dan langsung dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan ke berbagai daerah hingga meninggal dunia tahun 1864.
Kolonel Elout mempunyai dokumen-dokumen resmi yang membuktikan kesalahan Sentot Ali Basya dengan kehadirannya di Sumatera. Sentot, setelah usai Perang Jawa, masuk dinas Pemerintah Belanda. Kehadirannya di Jawa bisa menimbulkan masalah. Ketika Kolonel Elout melakukan serangan terhadap Paderi tahun 1831-1832, dia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot yang telah membelot itu.
Setelah pemberontakan tahun 1833, timbul kecurigaan serius bahwa Sentot melakukan persekongkolan dengan kaum Paderi. Karena itu, Elout mengirim Sentot dan legiunnya ke Jawa. Sentot tidak berhasil menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya. Belanda tidak ingin dia berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Padang. Pada perjalanan ke sana Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu di mana dia tinggal sampai mati sebagai orang buangan. Pasukannya dibubarkan dan anggota-anggotanya berdinas dalam tentara Hindia.
Perang Paderi menurut tulisan Abdul Qadir Jaelani
Perang Padri

Disusun oleh: Abdul Qadir Djaelani
Apabila diteliti masa Perang Padri di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat digolongkan kepada beberapa priode, yaitu:

(a) Priode 1809 - 1821


Priode ini adalah merupakan pembersihan yang ditakukan oleh kaum Padri terhadap golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari'at Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran antara kaum Padri melawan golongan penghulu adat.

(b) Priode 1821 - 1832


Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam masa ini sifat pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial Belanda yang mau menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para penguasa bangsa sendiri yang berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang secara gigih oleh kaum Padri.

(c) Priode 1832 - 1837

Priode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, di mana kaum Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial Belanda. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh para ulama yang tergabunig dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari Sumatera Barat.

Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703--1787). Nama gerakan Wahabi sesunggulinya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum 'Muwahhidin' yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran
Islam.

Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:
(a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah se-mata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah musyrik;
(b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang di-pandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu kemusyrikan;
(c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo'a adalah termasuk perbuatan syirik;
(d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;
(e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;
(f) Memberantas segala bentuk kemunkaran dan ke-maksiatan;
(g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.


Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga penggerak yang sanggup membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa'ud dan Abdul Azis Ibnu Sa'ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh.


Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piobang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali ke Sumatera Barat.


Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya masing-masing mereka mencoba memberikan fatwanya.

Haji Muhammad Arifin di Sumanik mendapat tantangan hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau.
Haji Miskin mendapat perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat Angkat.

Hanya Haji Abdur Rahman di Piobang yang tidak banyak mendapat halangan dan tantangan.

Kepindahan Haji Miskin ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di sini ia mendapatkan sahabat-sahabat perjuangan yang setia; diantaranya yaitu Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang; Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Koto di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur.

Itulah tujuh orang yang berbai'ah (berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji Miskin. Jumlah para ulama yang berbai'ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian terkenal dengan sebutan 'Harimau Nan Salapan'.


Harimau Nan Salapan ini menyadari bahwa gerakan ini akan lebih berhasil bilamana mendapat sokongan daripada ulama yang lebih tua dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di Ampat Angkat.

Oleh sebab itu Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan lebih lincah telah berkali-kali menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia bersedia menjadi 'imam' atau pemimpin gerakaa ini. Tetapi setelah bertukar-pikiran berulang kali, Tuanku Nan Tuo
menolak tawaran itu.

Sebab pendirian Harimau Nan Salapan hendak dengan segera menjalankan syari'at Islam di setiap nagari yang telah ditaklukkannya.
Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan.


Tetapi Tuanku Nan Tuo mempunyai pendapat yang berbeda; ia berpendapat apabila telah ada orang beriman di satu nagari walaupun baru seorang, tidaklah boleh nagari itu diserang. Maka yang penting menurut pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang besar pada setiap nagari. Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya, ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib mantri dan dubalang.


Pendapat yang berbeda dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan Tuo dengan Harimau Nan Salapan sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak mungkin Tuanku Nan Tuo dapat diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan ini.

Untuk mengatasi masalah ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak Tuanku di Mansiangan, yaitu putera dari Tuanku Man-siangan Nan Tuo, yakni guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo.

Karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya sendiri, sulitlah bagi Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang gerakan ini. Padahal hakikatnya yang menjadi imam dari gerakan Hariman Nan Salapan adalah Tuanku Nan Renceh; sedangkan Tuanku di Mansiangan hanya sebagai simbol belaka.

Kaum Harimau Nan Salapan senantiasa memakai pakaian putih-putih sebagai lambang kesucian dan kebersihan, dan kemudian gerakan ini terkenal dengan nama 'Gerakan Padri'.

Setelah berhasil mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan Padri ini, maka Tuanku Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol dari Harimau Nan Salapan mencanangkan perjuangan padri ini dan memusatkan gerakannya di daerah Kamang.

Untuk dapat melaksanakan syari'at Islam secara utuh dan murni, tidak ada alternatif lain kecuali memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik itu ber-ada di tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh kekuasaan politik itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari tangan para penghulu. Karena
Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka kekuasaan penghulu Kamang harus diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil dengan baik.

Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan Padri ini, ingin mem-buktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-ulama dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan syari'at Islam secara utuh dan murni.

Bertempat di Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-minuman keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para pengikut-nya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu merealisasikan ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari'at Islam secara keras.

Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri.
Dengan segala persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang, tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh tersebut untuk membubarkan pesta 'maksiat' yang diselenggarakan oleh golongan penghulu (penguasa).

Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut dengan pertempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil dan mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya dimenangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh, berarti permulaan peperangan Padri.

Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi persenjataan pasukan Padri. Tindakan ofensif bagi daerah--daerah yang menentang kaum Padri segera dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan, kemudian menyusul daerah Tilatang. Dengan demikian seluruh Kamang telah berada di tangan kaum Padri.

Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang Tarab dan Guguk jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur dan bahkan pada tahun 1804 seluruh daerah Luhak Agam telah ber-ada di dalam kekuasaan kaum Padri.

Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain kesungguhan yang keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat memungkinkan untuk cepat berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal tempat bermukimnya ulama-ulama besar seperti Tuanku Pamansiangan dan Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu sangat tipis. Wibawa para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.

Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan damai. Sebab penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh kepada kaum Padri serta siap membantu setiap saat untuk kemenangan kaum Padri.
Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-daerah yang berada di dalam kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada setiap nagari diangkat seorang 'Imam dan seorang Kadhi'. Imam bertugas memimpin peribadahan seperti sembah-yang berjam aah lima waktu sehari semalam, puasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah-masalah ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga kelancaran dijalankannya syari'at Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga ketertiban Umum.

Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan selicin di daerah Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh kekuasaannya. Di sini pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit dari golongan penghulu dan pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar adalah merupakan pusat kekuasaan adat Minangkabau. Kekuasaan itu berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Di waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah Sultan Arifin Muning Syah.

Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat tiga orang raja yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo, yaitu :
(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan tertinggi di seluruh Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.

Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh Basa Empat Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan Minangkabau di Pagaruyung. Mereka itu adalah :
- Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;

- Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;

- Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;

- Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari'at atau agama.

Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di Batipuh yang bertindak sebagai Pang-lima Perang, kalau Pagaruyung kacau dialah bersama pasukannya untuk mengamankannya.

Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau mendapat otonomi yang sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam nagari dapat diselesaikan oleh kepala nagari melalui kerapatan adat nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru dibawa ke pimpinan Luhak (kira-kira sana dengan kabupaten sekarang). Kalau
masih belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjutnya diteruskan ke Raja Adat atau Raja Iba dat, tergantung pada masalahnya. Kalau semuanya tak dapat menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan oleh Raja Minangkabau.

Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya dianggap satu bahaya besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan mereka.

Selain itu para bangsawan pun cemas, karena khawatir adat nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap, ji ka kaum Padri berkuasa.

Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri dengan pasukan Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung Barulak, salah satu jalan untuk masuk ke pusat kekuasaan Minang-kabau dari Luhak Agam, sering berpindah tangan, terkadan g dikuasai pasukan Padri, terkadang dapat di-rebut kembali oleh pasukan raja. Walaupun begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk bagi para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di Pagaruyung, Basa Empat Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri.

Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808, sesudah enam tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri dalam perundingan itu dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan seluruh pasukannya, sedangkan para penghulu dipimpin oleh Raja Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak keluarganya hadir dalam pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena gencatan senjata telah disepakati sebelumnya.

Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan dimulai. Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Belo dengan para staf raja, yang berakibat meledak menjadi perkelahian dan pertumpahan darah.

Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarganya mati terbunuh dalam perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan seorang cucu raja yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan.

Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan pasukannya, karena dianggap melanggar gencatan senjata yang telah disepakati dan berarti menggagalkan usaha perdamaian.

Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah kepada kaum Padri tanpa per-lawanan, karena takut melihat pengalaman di Koto Tangah.

Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan salah seorang murid-nya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad Syahab, untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum Padri. Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo nntuk membuat benteng besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan karena Malin Basa (Tuanku Mudo) seorang
murid yang pandai, alim dan berani.

Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri dan guru dari Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keberanian dan berhasil memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki bukit yang bernama Bukit Tajadi. Deng an bantuan seluruh umat Islam yang tinggal di sekitarAlahan Panjang, di mana setiap hari bekerja tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya 'Benteng Bonjol' yang terletak di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang kelilingnya kira-ki ra 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar, tinggi tembok empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya ditanami pagar aur berduri yang sangat rapat.

Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid yang lengkap dengan per-kampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap saat mereka dapat mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan, fungsinya, maka be nteng Bonjol juga diperlengkapi dengan per-senjataan perang, guna setiap saat siap menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh Tuanku Mudo yang bertindak sebagai 'imam' dari masyarakat benteng Bonjol, yang
sesuai dengan struktur pem erintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tuanku Mudo digelari dengan 'Imam Bonjol'.

Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerintahan lengkap berdiri, Imam Bonjol memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar Alahan Panjang dan berhasil dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam Bonjol dengan pasukannya menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan Panjang seperti antara lain Datuk Sati.

Kecemasan ini melahirkan satu gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk menyerang pasukan Imam Bonjol dan merebut benteng sekaligus.

Pada tahun 1812 Datuk Sati dengan pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk Sati mengajak diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam Bonjol.

Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia kemudian diangkat menjadi pe-mimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk meluaskan kekuasaan kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke daerah Tapanuli Selatan. Mulai Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.

Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini terletak agak ke sebelah utara Minang-kabau.
Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao, sedang-kan
benteng Dalu-Dalu dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini
berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.

Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum
Padri di Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat berhasil,
tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. Daerah--daerah di sini bagitu
setia untuk menjalankan syari'at Islain
secara penuh, sesuai dengan missi yang diemban oleh gerakan Padri.

Sementara kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan daerah
pesisir barat Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang. Tuanku
Pamansiangan salah seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan kepada Imam
Bonjol untuk menarik pasukan Padri dari Tapan uli Selatan dan menggempur
kedudukan Belanda di Padang yang belum begitu kuat. Karena baru saja serah
terima kekuasaan dari Inggeris (1819). Tetapi perwira-perwira Padri
seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku Lelo dari Tapanuli Selatan
ber-kebarat an untuk melaksakan usul itu, oleh karena itu Imam Bonjol
hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan pasukan Belanda melalui
kurir-kurir yang sengaja dikirim ke sana.

Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis
adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah
membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah ter-sebut. Dalam menghadapi
serangan Belanda ini, maka ter-pak sa kaum Padri yang berada di Tapanuli
Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi dikirim untuk
menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Tuanku Rao
gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasu
kan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.
Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi
pasukan Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama
ini kekuasaannya telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu
Minangkabau mengadakan perjanjian kerjasama de ngan Belanda untuk
memerangi kaum Padri. Para penghulu yang mengatasnamakan yang Dipertuan
Minangkabau langsung mengikat perjanjian kerjasama dengan Residen Belanda
di Padang yang bernama Du Puy.

Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka berarti
kaum Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian, tiba--tiba
Tuanku Nan Renceh, Yang menjadi pimpinan ter-tinggi kaum Padri yang gemilang
pada tahun 1820 wafat. Kekosongari ini secara demokrasi diisi oleh Iman Bonjol.
Atas persetujnan para perwira pasukan Padri, Imam Bonjol langsung memimpin
gerakan Padri untuk menghadapi pasukan gabungan Belanda-Penghulu.

Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri;
sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan. Untuk
menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar dengan nama
'Benteng atau Fort van der Capellen'. Berulang kali pasukan Belanda--Penghulu
menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan,
bahkan pernah pasukan Belanda-Penghulu terjebak.

Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, men-dorong Belanda untuk memperkuat
pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan pasukannya dari
Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan bantuan militer yang
lengkap persenjataannya, pasukan Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan
pasukan Padri.

Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda--Penghulu ditujukan ke
daerah yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan menaklukkan
Luhak Tanah Datar, yang berpusat di Pagaruyung, menurut dugaan Belanda
perlawanan pasukan Padri akan mudah ditumpas. Oleh karena itu pada tahun 1822
pasukan Belanda-Penghulu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang
Pagaruyung. Pertempuran sengit terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang
berjatuhan. Karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri
mengundurkan diri ke daerah Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda
yang cakup besar.

Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan mendatangkan
bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda sesampainya di Lintau
seluruhnya dapat dipukul mundur dan terpaksa kembali ke pangkalan mereka di
Batusangkar.

Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan
memblokade daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak Lima Puluh
Kota dan Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat direbut oleh pasukan
Belanda, tetapi usaha-nya untuk merebut Lintau dapat dipatahkan, karena pasukan
Padri di Luhak Agam di bawah pimpinan Tuan-ku Pamansiangan memberikan
perlawanan yang sengit. Kemudian Letnan Kolonel Raaff menyusun kembali
pasukannya untuk merebut Luhak Agam, Koto Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan
kali ini berhasil, setelah melalui pertempuran dahsyat, di mana Tuanku
Pamansiangan dapat tertangkap, yang kemudian di-hukum gantung oleh Belanda.

Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan
serangan balasan ter-hadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah
didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serang-an pasukan Padri. Operasi
ke Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu oleh
perwira-perwira pasukan Padri dari Tapanuli Selatan. Hanya dengan per-tahanan
yang luar biasa dan dibantu dengan tembakan--tembakan meriam laut, Air Bangis
dapat selamat dari serangan pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba
merebut kembali daerah Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini
berhasil merebut kembali daerah Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa
daerah lainnya.

Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tam-bahan pasukan militer dari
Batavia. Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi militer
besar-besaran untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di bukit
Marapalam terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan
Padri selama tiga hari tiga malam, sehingga Belanda terpaksa harus mengundurkan
diri. Tetapi operasi militer Belanda itu diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah
Biaro dan Gunung Singgalang. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda
dengan pasukan Padri, tetapi karena kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar,
akhirnya daerah-daerah itu dapat direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti
oleh tindakan biadab dengan jalan melakukan pembunuhan massal terhadap
penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan.

Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, mem-buat Belanda berhitung dua kali.
Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali diambil oleh
pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan tambahan pasukan dari
Batavia terbukti tidak dapat menumpas pasukan Padri. Oleh karena itu, untuk
kepentingan konsolidasi, Belanda berusaha untuk meng-adakan perjanjian gencatan
senjata. Usaha ini berhasil, sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian
gencat-an senjata di Masang ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.

Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit.
Sebab Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak Tanah
Datar dan Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak Tanah Datar dan
Luhak Agam dapat sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda, dan mereka mendirikan
benteng dengan nama Fort de Kock di sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di
Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum
Padri di benteng Bonjol dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi
pasukan yang telah jenuh berperang selama lebih dari duapuluh tahun lamanya.

Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan timbulnya
perang Jawa ini, ke-kuatan pasukan Belanda menjadi terpecah dua: sebagian untuk
menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai, dan yang sebagian lagi harus
menghadapi Perang Jawa yang baru muncul. Karena perang Jawa dianggap oleh
Belanda lebih strategis dan dapat mengancam ek-sistensi Belanda di Batavia,
pusat pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua
kekuatau militer harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.

Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian kembali
dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha perdamaian dan
gencatan senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai, dengan jalan mengakui
kedaulatan kaum Padri di be-berapa daerah Minangkabau yang memang masih secara
penuh dikuasairiya. Perjanjian damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh
Belanda untuk menarik pasukannya dari Sumatera Barat setanyak 4300 orang, dan
mensisakannya hanya 700 orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang
serdadu itu, digunakan hanya untuk menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan
Belanda di Sumatera Barat.

Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial
Belanda, maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa ke
Sumatera Barat untuk menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer yang
besar Belanda melakukan serangan ke daerah pertahanan pasukan Padri. Pada akhir
tahun 1831, Katiagan kota pelabuhan yang men-jadi pusat perdagangan kaum Padri
direbut oleh pasukan Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada
akhir 1831, Kapau, Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta
Masang dikuasai Belanda pada tahun 1834.

Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, yang
memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan jalur per-dagangan
melalui sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana sebuah anak sungai
Kampar kanan dapat dilayari sampai dekat Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur
melalui anak sungai tersebut sampai ke Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke
Penang dan Singapura, dapat dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir
tahun 1834 dapat direbut oleh Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri
yang berpusat di benteng Bonjol mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh
suplai bahan makanan dan persenjataan.

Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan kecemasan
para golong-an penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan yang
diharapkan para penghulu dapat di-pegangnya kembali, ternyata setelah
kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang bejat yang
dipertontonkan oleh pasukan Belanda--Kristen, seperti menjadikan masjid sebagai
tempat asrama militer dan tempat minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil
dari rumah-rumah mereka, pembantaian massal, pemerkosaan terhadap
wanita--wanita, memanjakan orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai
perekonomian rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan
penghulu kepada Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa
harga diri untuk mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk me-lakukan
perlawanan terhadap Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya perlu
adanya kerjasama dengan kaum Padri.

Uluran tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri. Perjanjian
kerjasama dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum Padri untuk mengusir
Belanda, dari tanah Minangkabau dilaksanakan pada akhir tahun 1832 bertempat di
lereng gunung Tandikat. Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap
Belanda dipimpin langsung oleh Imam Bonjol.
Dalam perjanjian dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah
ditetapkan bahwa tanggal 11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu
beserta rakyat Sumatera Barat secara serentak melakukan serangan kepada pasukan
Belanda. Awal serangan rakyat Minang-kabau ini terhadap pasukan Belanda banyak
mengalami kemenangan, terutama di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana
pasukan Belanda ditempatkan untuk melaku-kan blokade. Pasukan Belanda yang
langsung dipimpin oleh Letnan Kolonel Vermeulen Krieger, pimpinan ter-tinggi
militer di Sumatera Barat, di daerah Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan
Padri, sehingga, banyak sekali serdadu Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan
Kolonel Vermeulen Krieger dan beberapa orang anak buahnya yang dapat
menyelamatkan diri dari pembunuhan itu. Karena semua jalan terputus maka
terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan anak buahnya yang tinggal
beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk bisa kembali ke
Bukittinggi.

Apabila di daerah Alahan Panjang, serangan secara serentak dapat dilakukan oleh
rakyat Minangkabau dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda, tetapi di Luhak
Tanah Datar dan Luhak Agam, serangan itu tidak dapat dilaksanakan. Faktor
penyebabnya ialah banyak daerah-daerah di sini belum menerima informasi dari
hasil Ikrar Tandikat; disamping banyak daerah-daerah strategis yang dikuasai
Belanda. Bahkan ada juga informasi ikrar ini jatuh ke tangan Belanda, sehingga
orang-orang yang dicurigai segera ditangkap. Di samping itu memang masih banyak
para penghulu atau kepala adat yang tetap setia kepada Belanda.

Timbulnya perlawanan serentak dari seluruh rakyat Minangkabau, sebagai
realisasi ikrar Tandikat, memaksa Gubernur Jenderal Van den Bosch pergi ke
Padang pada tanggal 23 Agustus 1833, untuk melihat dari dekat tentang jalannya
operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia
melakukan perundingan dengan Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk
segera menaklukkan benteng Bonjol, yang dijadikan pusat meriam besar pasukan
Padri, Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk
mengadakan serangan umum terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk
Agam masih disangsikan, dan mereka sangat mungkin kelak me-nyerang pasukan
Belanda dari belakang. Tetapi Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk segera
menaklukkan benteng Bonjol, dan paling lambat tanggal 10 september 1853 Bonjol
harus jatuh. Kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari lagi, sehingga
jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.

Meskipun demikian, kedua opsir tersebut belum yakin dapat melaksanakan rencana
yang telah diputus-kannya, sebab besar sekali kesulitan-kesulitan yang harus
dihadapinya. Pertama, karena mereka harus rnengerahkan tiga kolone: satu
kolonne harus menyerang Bonjol dengan melalui Suliki dan Puar Datar di Luhak
Lima Puluh Kota, dan satu kolonne dari Padang Hilir melalui Manggopoh dan Luhak
Ambalau, dan kolonne ketiga dari Ram melalui Lubuk Sikaping. Dan disamping itu
harus disiapkan pula satu kolonne yang pura-pura menyerang Padri di daerah
Matur, supaya pasukan Padri mengerahkan pasukannya ke sana. Sebelum pasukan
menyerbu ke Bonjol, kolonne-kolonne itu harus mampu menundukkan dan menaklukkan
daerah-daerah di sekelilingnya, dan merusakkan semua pertahanan rakyat di Luhak
Agam.

Rakyat Padang Datar umumnya marah betul kepada tentara Belanda, karena melihat
kekejaman dan kesadisannya di Guguk Sigadang; dan rasa benci kepada
-kaki-tangan Belanda yang bersifat sewenang-wenang serta mencurigai dan
menangkap rakyat awam.

Sementara itu, Mayor de Quay mengutus Tuanku Muda Halaban untuk membujuk Imam
Bonjol supaya suka berunding dan berdamai dengan Belanda. Imam Bonjol
menyatakan kepada Tuanku Muda Halaban, bahwa ia bersedia berunding di suatu
tempat yang telah ditetap-kan. Akhirnya perundingan itu dapat dilaksanakan.

Dalam kesempatan perundingan ini, tenggang waktu yang tersedia itu digunakan
dengan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk menyiapkan pasukannya, di samping
diharapkan pasukan Padri menjadi lengah. Untuk memudahkan mencapai Bonjol, maka
Mayor de Quay mengerahkan pasukannya yang dibantu oleh 1500 penduduk dari Lima
Puluh Kota untuk membuat jalan melalui hutan-hutan lebat, yang membatasi Luhak
Lima Puluh Kota dengan Lembah Alahan Panjang.

Pasukan Padri ternyata tidak lengah untuk terus mengamat-amati semua persiapan
tentara Belanda itu, sehingga. semua jalan masuk ke Lambah Alahan Panjang
ditutupnya dengan pelbagai rintangan, dikiri kanan jalan dipersiapkan kubu-kubu
pertahanan.

Di satu bukit, di tepi jalan ke Tujuh Kota, di dekat Batu Pelupuh, di puncaknya
yang kerap kali ditutupi kabut dan awan, dibuat oleh pasukan Padri sebuah kubu
pertahanan. Dari sini dapat diperhatikan segala gerak--gerik pasukan Belanda
dari jarak jauh. Kubu pertahanan pasukan Padri yang strategis ini diketahui,
oleh Belanda. Karenanya pada tanggal 10 September 1833, Jenderal Riesz
mengerahkan rakyat Agam yang setia kepada Belanda untuk menaklukkan kubu
tersebut. Usaha penaklukan kubu ini gagal total, dimana sebagian besar pasukan
rakyat Agam mati dan luka-luka, dan memaksa mereka kembali ke Bukittinggi.

Besok paginya, yakni tanggal 11 September 1833, Belanda mengerahkan 200 orang
tentaranya yang di-lengkapi dengan meriam dan diperkuat oleh pasukan golongan
adat dari Batipuh dan Agam. Pada Jam 05.00 pagi pasukan Belanda telah dapat
mendaki bukit per-tahanan pasukan Padri. Tetapi kira-kira 150 langkah mendekati
kubu pertahanan, dengan sekonyong-konyong pasukan Padri mendahului menyerang
pasukan Belanda. Pertempuran sengit terjadi, diantara kedua belah pihak banyak
korban berjatuhan. Tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, akhirnya pasukan
Padri mengundurkan diri turun ke desa Batu Pelupuh dan bertahan di belakang
pematang-pematang sawah. Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejarnya,
dengan sangat cerdik pasukan Padri bersembunyi ke hutan-hutan lebat yang sulit
untuk dikejar oleh pasukan Belanda. Desa Batu Pelupuh dan tujuh desa lainnya
yang ditinggalkan pasukan Padri habis dirampok dan dibumi-hanguskan oleh
pasukan Belanda. Walaupun pasukan Padri kalah, tetapi di pihak Belandapun
banyak sekali yang mati dan luka-luka; dan dengan susah payah mereka dapat
kembali ke Bukittinggi.

Setelah kubu pertahanan di bukit dekat Alahan Panjang dapat direbut pasukan
Belanda, maka Jenderal Riesz memusatkan serangan tipuan ke Matur. Sebagian
pasukannya diharuskan menduduki daerah Pantar, sebuah desa yang letaknya di
seberang jurang dekat kubu pertahanan pasukan Padri. Pasukan Belanda ini
dibantu oleh pasukan ada 600 orang dari Batipuh, 400 orang dari Banuhampu, 300
orang dari Sungai Puar, 340 orang dari Empat Kota, 604 orang dari Ampat Angkat,
dan 240 -orang dari Tambangan; seluruhnya berjumlah 2400 orang. Tetapi sebelum
tentara Belanda datang di Pantar, pada pagi-pagi sekali tanggal 12 September
1833, desa tersebut telah dibumi-hanguskan oleh pasukan Padri. Di selatan
Pantar yang telah menjadi lautan api, Belanda membuat kubu pertahanan untuk
menahan serangan--serangan pasukan Padri. Tetapi pasukan Padri pun me-ngerti
bahwa serangan pasukan Belanda ini hanya merupakan pancingan, karenanya mereka
tetap bertahan di kubu-kubu pertahanan mereka masing-masing.

Sementara itu pasukan Padri memperkuat Kota Lalang guna menaban tentara Belanda
yang datang dari arah Suliki yang dipimpin oleh Mayor de Quay. Pada tanggal 13
September 1833 pasukan Belanda telah dihadang oleh pasukan rakyat dari Tanah
Datar, sehingga perjalanannya terhambat. Dan baru pada tanggal 14 -September
1833 tentara Belanda melanjutkan serangan-nya ke Kota Lalang, yang
dipertahankan dengan gigih oleh pasukan Padri. Tentara Belanda banyak yang mati
dan luka-luka. Pertempuran berlangsung siang-malam dengan dahsyatnya, yang
masing-masing pihak me-ngerahkan semua kekuatannya. Karena kekuatan pasukan
Padri yang jauh lebih kecil dan lebih sederhana persenjataannya, akhirnya
mengundurkan diri ke hutan belantara yang sulit dikejar oleh tentara Belanda.

Kota Lalang yang ditinggalkan pasukan Padri dijaga oleh pasukan Jawa dan Adat;
dan tentara Belanda yang dibantu oleh ratusan pasukan adat dari Batipuh dan
Lima Puluh Kota meneruskan penyerbuannya menuju Bonjol. Dalam perjalanan yang
sulit ini pasukan Belanda senantiasa terjebak dengan serangan pasukan Padri
dari belakang yang bersembunyi di hutan lebat.
Serangan gerilya pasukan Padri dengan taktik "serang dengan tiba-tiba dan
lenyap secara tiba-tiba", me-nimbulkan kerugian yang besar bagi pasukan
Belanda; dan karenanya menimbulkan rasa takut bagi pasukan--pasukan adat yang
membantunya. Dengan diam-diam pasukan adat meninggalkan pasukan Belanda,
sehingga menyulitkan pasukannya untuk melanjutkan penyerbu-an. Hujan yang turun
terus-menerus menambah ke-sulitan lagi bagi pasukan Belanda, selain pasukan
yang basah kuyup hampir mati kedinginan, juga pasukan pembawa makanan dan
perlengkapan perang yang ter-diri dari pribumi, banyak yang tak tahan dan
akhirnya melarikan diri. .

Dengan sisa-sisa kekuatan, pasukan Belanda sampai memasuki lembah Air Papa. Di
lembah ini, yang sisi-sisi tebingnya cukup curam, digunakan oleh pasukan Padri
sebagai kubu pertahanan dengan mudah menembak pasukan Belanda yang berada di
bawah lembah. Dalam posisi yang demikian, terpaksa pasukan Belanda memusatkan
pasukannya di lembah yang agak gersang, yang jauh dari jangkauan pasukan Padri.
Daerah ter-buka yang digunakan pasukan Belanda memudahkan serangan bagi Pasukan
Padri. Kelemahan ini benar--benar digunakan oleh pasukan Padri. Serangan yang
datang dengan tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kepanikan di kalangan pasukan
Belanda, dimana akhirnya tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri dan
membatalkan rencana penyerbuan selanjutnya. Dengan diam-diam pasukan Belanda
pada malam hari mening-galkan medan pertempuran kembali ke Payakumbuh, dengan
meninggalkan korban yang mati maupun yang luka--luka banyak sekali.

Dari front barat, pasukan Padri telah mengetahuinya bahwa tentara Belanda akan
menyerang dari Manggopoh. Rakyat yang tinggal di sekitar Manggopoh seperti
Bukit Maninjau dan Lubuk Ambalau diyakinkan dan diancam oleh pasukan Padri
untuk tidak membantu pasukan Belanda.

Kolonne Belanda yang menyerang dari jurusan Manggopoh itu dipimpin oleh Letnan
Kolonel Elout. Mereka berangkat ke Tapian Kandi tanggal 11 September 1835. Di
daerah ini saja pasukan Belanda telah men-dapat perlawanan pasukan Padri yang
cukup sengit, hanya karena tembakan meriam yang bertubi-tubi pasukan Padri
terpaksa mundur ke daerah Pangkalan. Pasukan Belanda terus mendesak pasukan
Padri di Pangkalan; pertempuran sengit terjadi hampir tiap langkah dari
perjalanan pasukan maju Belanda. Hanya dengan pengorbanan yang besar pasukan
Padri dapat dipukul mundur dan pasukan Belanda dapat sampai di Kota Gedang.

Dari dataran tinggi Kota Gedang ini ada dua jalan; yaitu ke utara menuju Bonjol
dengan melalui Tarantang Tunggang, dan ke timur menuju XII Kota. Letnan Kolonel
Elout pergi ke Tanjung untuk bertemu dengan Tuanku nan Tinggi dari Sungai Puar
guna mendapat petunjuk jalan yang terbaik untuk mencapai Bonjol. Tuanku dari
Sungai Puar memberi petunjuk jangan pergi ke Bonjol melalui XII Kota, karena
rakyat di sana pasti akan meng-hambatnya. Karenanya ia kembali ke Kota Gedang,
tetapi gudang perbekalan pasukan Belanda yang di-kawal tidak begitu kuat disaat
ditinggalkan telah habis dibakar oleh rakyat. Dalam kondisi seperti ini, Letnan
Kolonel Elout sebagai komandan pasukan Belanda dari sektor barat memutuskan
untuk mengundurkan diri.ke Kota Merapak. Gerakan mundur pasukan Belanda
di-ketahui oleh pasukan Padri, kesempatan dan
peluang ini digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengejaran, dengan taktik
gerilya.

Serangan gerilya yang dilakukan pasukan Padri berhasil dengan gemilang bukan
saja ratusan tentara Belanda dan pasukan adat yang mati terbunuh, tetapi juga
hampir semua perlengkapan perang seperti meriam dan perbekalan semuanya dapat
dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat
di tangan dan badannya.

Kolonne ketiga dari pasukan Belanda yang datang dari jurusan utara melalui Rao
dipimpin oleb Mayor Eilers. Pasukan Eilers yang memang tidak begitu kuat,
diberikan kelonggaran, jika pasukannya tidak mampu melawan pasukan Padri di
sebelah utara Alahan Panjang, ia boleh maju hanya sampi Lubuk Sikaping saja. Di
sini pasukannya harus bertahan sambil menunggu informasi kolonne yang lain,
yang menyerang dari timur dan barat daerah Bonjol. Sambil menunggu berita dari
kolonne-kolonne yang lain, Mayor Eilers menghimpun pasukan dari kepala-kepala
adat dari Tuanku Yang Dipertuan di Rao dan Mandahiling untuk memperkuat
pasukannya yang hanya terdiri 'atas 80 orang serdadu. Usahanya berhasil dengan
1000 orang Rao, 400 orang Mandahiling dan 500 orang Batak lainnya. Dengan
kekuatan sekitar 2000 orang; Mayor Eilers maju menuju Bonjol. Sepanjang
perjalanan pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari pasukan Padri, baik
dalam bentuk serangan gerilya maupun pertempuran frontal dari benteng ke
benteng.

Pada tanggal 18 September 1833 pasukan Belanda telah sampai di Alai, kira-kira
dua kilometer dari benteng Bonjol. Di sini pasukan Belanda telah mendapat
per-lawanan yang luar biasa oleh pasukan Padri, pertempur-an sudah sampai satu
lawan satu. Akibatnya korban di pihak pasukan Belanda banyak sekali baik yang
mati maupun luka-luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak,
akhirnya-pasukan Belanda mengundurkan
diri ke Bonjol Hitam. Pengunduran diri pasukan Belanda ini diikuti terus dengan
serangan-serangan pasukan Padri, baik siang maupun malam hari.

Karena terancam oleh kehancuran total, disamping ternyata dua kolonne dari
timur maupun barat telah mengundurkan diri, maka Mayor Eilers, pada tanggal 19
September 1833 memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke pangkalan. Agar
selamat dari sergapan pasukan Padri di tengah jalan, pengunduran diri harus
dilakukan tengah malam.

Pada saat maghrib tiba, disaat tentara Belanda sedang sibuk berkemas-kemas
untuk melarikan diri, tiba-tiba menjadi panik, karena pasukan Padri menyerbu
dengan cepat dan keras. Pasukan Rao dan Mandahiling berhamburan keluar mencari
selamat dengan meninggalkan segala persenjataan dan perlengkapannya. Tentara
Belanda juga tak mampu menguasi keadaan dan bahkan turut lari tanpa
menghiraukan teriakan komandannya Mayor Eilers. Keadaan panik dan kacau,
menyebabkan pasukan Belanda. meninggalkan begitu saja meriam dan granat-granat
serta senjata-senjata lainnya. Bahkan pasukan yang luka parah sebanyak 50 orang
ditinggalkan begitu saja, sampai mati terbunuh semuanya. Hanya dengan susah
payah, sisa-sisa pasukan Belanda pada tanggal 20 September 1835, baru dapat
selamat ke pangkalan.

Pengunduran diri pasukan Belanda adalah atas per-setujuan Jenderal Van den
Bosch; karenanya ia datang sendiri ke Guguk Sigandang untuk menerima
pasukan--pasukan yang kalah itu. Dihadapan pasukannya, Jenderal Van den Bosch
berucap: "Bila keadaan memang tidak mengizinkan, dan kesulitan begitu besar,
sehingga sulit diatasi, pasukan boleh ditarik mundur; menunggu waktu yang
tepat. Tetapi bagaimanapun Bonjol harus ditaklukkan".

Pada tanggal 21 september 1833, Jenderal Van den Bosch memberi laporan ke
Batavia bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk
konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.

Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh--sungguh yang dilakukan oleh
pasukan Belanda untuk me-naklukkan Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali
pertempuran kecil-kecilan untuk membersihkan daerah--daerah yang dekat dengan
pusat pertahanan dan benteng Belanda. Selain itu pembuatan jalan dan jembatan,
yang mengarah ke jurusan Bonjol terus dilakukan dengan giat, dengan mengerahkan
ribuan tenaga kerja paksa. Pembuatan jalan dan jembatan itu dipersiapkan untuk
memudahkan mobilitas pasukan Belanda dalam gerak-annya menghancurkan Bonjol.

Baru pada tanggal 16 April 1835, pasukan Belanda memutuskan untuk mengadakan
serangan besar-besar-an untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi
militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, dimana dua kolonne pasukan Belanda
yang berkumpul di Matur dan Bamban, bergerak menuju Masang. Meskipun sungai itu
banjir, mereka menyeberangi juga dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan
rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna meghindarkan dari kubu-kubu
pertahanan Padri yang dipasang disekitar tepi jalan.

Pada tanggal 23 April 1835 pasukan Belanda telah sampai di tepi sungai Batang
Ganting, terus menyeberang dan kemudian berkumpul di Batu Sari. Dari sini hanya
ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang dikuasai oleh pasukan Padri.
Jalan sepanjang menuju Sipisang dipertahankan oleh pasukan Padri dengan
pimpinan Datuk Baginda Kali. Serangan-serangan pasukan Padri untuk menghambat
laju pasukan Belanda memang cukup merepotkan dan melelahkan, tetapi tidak
berhasil menahan secara total.

Sesampainya di Sipisang, pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan
pasukan Padri berjalan sangat kejam, tiga hari tiga malam pertempuran
berlangsung tanpa henti, sampai korban di kedua belah pihak banyak yang jatuh.
Hanya karena kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Padri terpaksa
mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba dan menyeberangi kali. Jatuhnya daerah
Sipisang, dijadikan oleh pasukan Belanda untuk kubu pertahanannya, sambil
menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.

Selain itu, satu kolonne pasukan Belanda pada tanggal 24 April 1835 berangkat
menuju daerah Simawang Gedang, yaitu daerah yang dikuasai pasukan Padri. Dengan
kekuatan hanya 500 orang pasukan Padri mencoba menahan tentara Belanda yang
jumlah dan kekuatannya jauh lebih besar. Pertempuran dahsyat tak terhindari
lagi, berjalan alot; walau akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri.
__________________
Satu kompi pasukan tentara Bugis yang dibantu oleh pasukan adat dari Batipuh
dan Tanah Datar bertugas untuk mengusir pasukan Padri yang berada di luar
daerah Simawang Gadang. Bahkan pasukan Bugis bersama-sama pasukan adat Batipuh
dan Tanah Datar berhasil mendesak pasukan Padri sampai ke Batang Kumpulan.
Tetapi disini telah menunggu 1200 orang pasukan Padri untuk menghadang gerakan
maju pasukan Belanda. Usaha ofensi pasukan Belanda yang terdiri dari pasukan
Bugis, Batipuh dan Tanah Datar diporak-porandakan oleh pasukan Padri,
hampir-hampir sebagian terbesar mati terbunuh.

Kalaulah tidak segera bala bantuan pasukan Belanda datang dengan cepat dan
dalam jumlah besar, dapat diduga bahwa pasukan Belanda yang terdepan itu akan
musnah seluruhnya. Datangnya bala bantuan pasukan Belanda bukan dapat
menyelamatkan sisa-sisa pasukanriya yang telah cerai--berai; tetapi juga mampu
mendesak pasukan Padri, sehingga daerah Kampung Melayu yang menjadi ajang
pertempuran dapat dikuasai oleh Belanda.

Kampung Melayu terletak di tepi sebatang sungai kecil, Air Taras namanya. Tidak
berapa jauh ke hilir sungai itu bertemu dengan sungai Batang Alahan Panjang.
Kampung Melayu tersembunyi di dalam sebuah lembah yang dilingkari oleh
bukit-bukit tinggi yang terjal.

Pasukan Padri yang mengundurkan diri dari daerah Kampung Melayu, bersembunyi di
bukit-bukit terjal dengan kubu-kubu pertahanan yang tersembunyi, untuk menjepit
pasukan Belanda yang ada di Air Taras. Pada tanggal 27 April 1835, pasukan
Belanda mencoba me-nyerang pasukan Padri yang berada di bukit-bukit terjal itu;
tetapi hasilnya nihil, bahkan puluhan tentaranya yang mati dan luka-luka.

Selama tiga hari pasukan Belanda melakukan kon-solidasi dengan menambah
pasukannya. Baru pada tanggal 3 Mei 1835 operasi militer dapat dilanjutkan.
Tetapi, baru saja dimulai, Letnan Kolonel Bauer komandan pasukan Belanda telah
terluka kena ranjau. Di saat pasukan Belanda menyeberangi sungai Air Taras
di-serang oleh pasukan Padri, sehingga banyak pasukan-nya yang tenggelam dan
mati, karena senjata yang digunakan macet terendam air. Pertempuran kemudian
berkembang menjadi perang tanding, yang tentunya menguntungkan pasukan Padri.
Tetapi karena pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya pasukan Padri
ter-desak dan meninggalkan kubu-kubu pertahanan yang ada di bukit-bukit terjal
itu. Kemajuan yang diperoleh pasukan Belanda di daerah ini tidak langgeng
karena tidak berapa lama pasukan Padri datang menyerang dengan kekuatan sekitar
500 orang.

Karena merasa daerah ini kurang aman, maka pasukan Belanda sebelum
meninggalkannya telah melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah penduduk
dan ladang-ladang, sehingga menjadi daerah yang hangus terbakar.

Laju pasukan Belanda menuju Bonjol sangat lamban, hampir sebulan waktu yang
diperlukan untuk bisa mendekati daerah Alahan Panjang. Front terdepan dari
Alahan Panjang adalah Padang Lawas, yang secara penuh dikuasai oleh Pasukan
Padri. Pada tanggal 8 Juni 1855 pasukan Belanda yang mencoba maju ke front
Padang Lawas dihambat dengan, pertempuran sengit oleh pasukan Padri. Hanya
dengan pasukan yang besar dan kuat persenjataannya dapat memukul mundur pasukan
Padri, dan menguasai front Padang Lawas.

Pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda menuju sebelah timur sungai Alahan
Panjang, sedangkan pasukan Padri berada di seberangnya pasukan musuh yang
bersembunyi di benteng-benteng partahanannya senantiasa mendapat serangan
gerilya dari pasukan Padri, sehingga selama lima hari-lima malam, pasukan musuh
tidak dapat maju dan bahkan kehilangan 7 orang serdadunya mati dan 84 orang
luka-luka.

Kampung Bonjol kira-kira 1200 hasta panjangnya dan 400 sampai 700 hasta
lebarnya, sebab bagian selatan dari dinding barat mundur kira-kira 200 hasta ke
belakang. Letak kampung ini antara 1000 atau 1200 hasta dari tepi timur suang
Batang Alahan Panjang. Di timur dan tenggaranya terdapat tebing terjal dan
sebuah bukit yang tegak hampir lurus keatas, yang dengan Bonjol dipisahkan oleh
sebatang anak sungai kecil. Bukit ini Tajadi namanya, menguasai lapangan di
setelah barat dan timurnya.Di atas bukit ini pasukan Padri mem-buat beberapa
kubu pertahanan yang kuat dan baik letaknya, dan dari sana mereka menembakkan
meriam yang bermacam kaliber kepada musuh di seberang barat Alahan Panjang.

Di kampung itu banyak rumah yang terbuat dari kayu, yang sebagian besar
dinaungi oleh hutan bambu, pohon-pohon kelapa dan pohon buah-buahan. Di sebelah
barat dan utara kampung Bonjol terbentang sawah luas.

Di sebelah timur Bonjol membujur bukit barisan tinggi membujur, yang diselimuti
oleh hutan lehat. Di balik timur bukit barisan itulah terletak tanah Lima Puluh
Kota. Tanah di sebelah selatan dan tenggara Lambah Alahan Panjang ini
bergunung-gunung dan ber-bukit batu yang benjal-benjol. Keadaan alam ini
diper-gunakan oleh pasukan Padri sebagai benteng pertahanan yang paling besar
dan menjadi markas besar Imam Bonjol. Pada umumnya, semak, belukar dan hutan
yang sangat tebal di sekitar Bonjol ini, sehingga kubu-kubu pertahanan pasukan
Padri tidak mudah dilihat dari luar. Di tengah lembah mengalir dan berliku-liku
sungai Batang Alahan Panjang dari utara ke selatan.

Pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda membuat kubu pertahanan
yang kira-kira hanya 250 langkah dari Bonjol. Dengan meriggunakan houwitser,
mortir dan meriam besar, menemhaki benteng Bonjol, yang dibalas kontan oleh
meriam-meriam pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Karena posisi yang
kurang menguntungkan pasukan musuh maka banyak pasukannya yang mati dan
terluka, oleh karena itu Letnan Kolonel Bauer meminta kepada Residen Francis
untuk memberikan bala bantuan sebanyak 2000 orang lagi. Dan pada tanggal 17
Juni 1835 bala bantuan itu datang. Pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan
yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu
Bonjol. Sebelum pasukan musuh sampai pada sasaran terakhir, di kampung Jambak
dan Kota mendapat perlawanan yang sengit dari pasukan rakyat dan Padri.
//
Di Bonjol yang merupakan markas besar pasukan Padri telah berkumpul
komandan-komandan pasukan Padri yang datang dari daerah-daerah yang telah
ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari Tanah Datar, Lintau, Bua, Lima Puluh
Kuta, Agam, Rao dan Padang Hilir. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan
markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati
syahid.

Melihat kokohnya benteng Bonjol, disamping banyak tentaranya yang mati dan
luka-luka, pasukan Belanda tidak melakukan gerakan ofensif menyerang Bonjol
tetapi melakukan blokade terhadap Bonjol, dengan tujuan untuk melumpuhkan
suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan Belanda,
ternyata tidak efektif, karena justru benteng-benteng pertahanan pasukan musuh
dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan gerilya Padri yang
memang berada di belakang pasukan musuh.

Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol masih menunggu bala
bantuan tentara, walau di sekitar Bonjol pasukan Belanda telah berkumpul, pada
awal Agustus 1835, sekitar 14.000 orang. Baru setelah datang bala bantuan
tentara Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis; pada pertengahan Agustus 1835
pe-nyerangan dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan pasukan Padri yang berada
di bukit Tajadi. Satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis pasukan Padri ini
jatuh ke tangan pasukan musuh.

Pada tanggal 5 September 1835 pasukan Bonjol menyerbu ke luar benteng
menghancurkan kubu-kubu pertahahan musuh yang dibuat sekitar benteng. Dengan
keberanian yang luar biasa pasukan Padri menyerang benteng-benteng Belanda,
yang banyak menelan korban di kedua belah pihak. Setelah serangan dilakukan,
pasukan Padri segera masuk kembali ke dalam benteng.

Sementara itu pasukan Belanda yang berada di Puar Datar diperintahkan oleh
Letnan Kolonel Bauer maju menuju Bonjol. Dalam perjalanannya pasukan Belanda
ini harus melalui desa Talang. Sesampainya di sini pasukan Padri yang dibantu
oleh rakyat melakukan perlawanan yang sengit, sehingga memaksa pasukan musuh
kembali ke Air Papa dan terus ke Puar Datar. Usaha mendatangkan bantuan untuk
menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima Puluh Kota gagal.

Kegagalan menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima puluh Kota, pada tanggal 9
September 1835, serangan ditempuh melalui Padang Bubus. Hasilnya sama, gagal,
bahkan pasukan Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Dan Letnan Kolonel Bauer
yang menderita sakit, terpaksa dikirim ke Bukittinggi dan digantikan oleh Mayor
Prager.

Kebijaksanaan Mayor Prager tidak melakukan serangan ofensif ke Bonjol sampai
datangnya bala bantuan baru dari markas besarnya di Bukittinggi. Dalam
kesempatan yang terluang ini, pasukan Padri melakukan serangan gerilya terhadap
kubu-kubu pertahanan Belanda, memusnahkan gudang-gudang perbekalan dan gudang
mesiu bukan saja daerah di sekitar Bonjol, tetapi sampai jauh menyelinap ke
Kumpul-an, Sirnawang Gadang dan Puar Datar.

Blokade yang berlarut-larut, menimbulkan ke-beranian rakyat untuk memberontak
terhadap pasukan Belanda, sehingga pada tanggal ll Desember 1835 rakyat desa
Alahan Mati dan Simpang mengangkat senjata kembali. Tentara Belanda tak mampu
mengatasi pemberontakan rakyat desa-desa ini, sehingga men-datangkan pasukan
bantuan dari serdadu-serdadu Madura. Hanya dengan bantuan pasukan Madura,
Belanda dapat memadamkan pemberontakan ini. Di desa Kumpulan juga terjadi
peristiwa yang sama, yaitu pemberontakan terhadap pasukan musuh.

Gerakan maju pasukan Belanda menyerbu benteng Bonjol yang tinggal beberapa
ratus kilometer, dalam tiga bulan ini, hampir-hampir tidak mengalami kemajuan
yang berarti, malah sebaliknya daerah-daerah yang telah ditaklukkan kembali
pemberontak; dan tidak sedikit menimbulkan korban bagi pasukan musuh. Sambil
menunggu bala bantuan dari Batavia, Belanda mencoba melakukan perundingan
dengan pasukan Padri. Perundingan, yang sebenarnya hanya untuk mengulur-ulur
waktu saja, ternyata ditolak oleh Imam
Bonjol. Peluang waktu ini dipergunakan oleh Imam Bonjol untuk membangkitkan
rakyat yang tinggal di garis belakang pasukan musuh untuk berontak..

Setelah kegagalan perundingan ini, dan tambahan pasukan dari Batavia telah
tiba, maka pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda melakukan serangan
besar-besaran terhadap benteng Bonjol, sebagai pukulan terakhir penaklukkan
Bonjol. Serangan dahsyat mampu menjebol sebagian benteng Bonjol, sehingga
pasukan Belanda masuk menyerbu dan berhasil membunuh putera serta keluarga Imam
Bonjol. Tetapi serangan balik pasukan Bonjol (Padri) mampu memporak-porandakan
musuh sehingga terusir keluar benteng dengan me-ninggalkan banyak sekali
korban.

Kegagalan penaklukkan benteng Bonjol sekarang ini benar-benar memukul
kebijaksanaan Gubernur Jenderal -Hindia Belanda di Batavia. Oleh karena itu
Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengirimkan panglima ter-tingginya Mayor
Jenderal Coclius ke Bukittinggi untuk memimpin langsung serangan ke benteng
Bonjol untuk kesekian kalinya. Dengan mengunakan pasukan artileri yang
bersenjatakan meriam-meriam besar untuk mem-boboIkan benteng; diperkuat dengan
pasukan infantri dan kavaleri, pasukan Belanda meinulai lagi serangan-nya ke
benteng Bonjol.

Serangan yang bertubi-tubi dan dahsyat dengan hujan peluru meriam, masih
memerlu-kan waktu yang cukup lama, kira-kira 8 bulan lamanya. Setelah bukit
Tajadi jatuh pada tanggal 15 Agustus 1837, maka pada tanggal 16 Agustus 1837
benteng Bonjol yang anggun dapat ditaklukkan. Tetapi tak ber-hasil menangkap
Imam Bonjol, karena sempat meng-undurkan diri keluar benteng dengan pasukan
Padri yang mendampinginya dan terus menuju daerah Marapak. Imam Bonjol mencoba
mengadakan konsoli-dasi terhadap pasukannya yang telah bercerai-berai dan
lemah, karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda, ternyata sia-sia.
Hanya sedikit saja lagi pasukan yang masih siap bertempur.

Melihat kenyataan semacam ini, Imam Bonjol me-nyerukan ke pada pasukannya yang
terserak di mana--mana untuk kembali ke kampung halamannya masing--masing,
untuk memulai hidup baru sebagai rakyat biasa. Dan yang memang benar-benar tak
ada lagi semangat berjuang, dibenarkan untuk menyerah kepada Belanda.

Dalam pelarian dan persembunyiannya Imam Bonjol dengan pengawalnya dari hutan
ke hutan, lembah dan ngarai, memang sangat melelahkan, penderitaan kurang
makan, kurang tidur, sakit dan lelah mengakibatkan para pengawalnya
hampir-hampir mati semuanya. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat
tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak Imam Bonjol
berunding.

Setelah dirundingkan bersama antara Imam Bonjol dan para stafnya, tawaran
perundingan dari Residen Francis di terima. Daerah perundingan dipilih Pelupuh,
di mana Imam Bonjol akan bertemu langsung dengan Residen Francis. Pada tanggal
28 Oktober 1837 Imam Bonjol dengan stafnya keluar dari Bukit Gadang me-nuju
Pelupuh. Sesampainya di pelupuh, bukannya pe-rundingan yang terjadi, tetapi
sepasukan Belanda telah siap menangkap Imam Bonjol dengan stafnya. Karena Imam
Bonjol dan stafnya tidak membawa senjata, sesuai dengan syarat-syarat
perundingan akhirnya dengan mudah pasukan Belanda menangkap Imam Bonjol dan
stafnya. Dari Pelupuh Imam Bonjol di bawa ke Bukit-tinggi dan terus ke Padang.
Pada tanggal 23 Januari 1838 dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838
itu juga Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon. Baru tanggal 19 Januari 1839 Imam
Bonjol dipindahkan ke Menado. Di sini ia menemui ajalnya pada tanggal 8
Nopember 1864, setelah menjalani masa pembuangap selama 27 tahun lamanya.

Senin, 28 Maret 2011 22:59

Translate

English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified

recent post

Total Pengunjung

Popular Posts

Followers

Blog Archive

DMCA.com Protection

Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates